[caption id="attachment_143129" align="alignleft" width="400" caption="Sarasvati membatik"][/caption]
Setelah dikompori oleh Winda Krisnadefa dengan artikel "Falsafah selembar batik", akhirnya kami mencoba membatik. Terima kasih banyak, Tante Winda. Kemarin, hari Minggu, 16 Mei 2010, saya dan beberapa Kompasianer sudah mencoba langsung membatik di Museum Tekstil. Wah, ternyata sulit. Tidak semudah apa yang dibayangkan. Memulai langsung menggoreskan malam (lilin) ke kain yang sudah diberi gambar jiplakan, perlu kesabaran. Mencelupkan canting (lihat "filsafat canting" yang ditulis oleh Om Aziz Safa) ke tinta lilin yang panas tidak boleh sembarang. Mengangkat canting dan langsung menggoreskan ke kain juga ada aturannya. Setelah menyendok lilin panas, canting harus ditempelkan ke pinggir anglo besar untuk mengurangi lilin yang berlebih di cucuk canting. Setelah yakin tidak ada yang menetes, barulah mulai menempelkan lilin ke kain.
Posisi canting juga harus tegak lurus, tidak boleh miring. Ternyata kalau miring, tinta akan keluar berlebih (mbleber) di kain. Nah, barulah mulai melukis, mengikuti alur motif yang sudah ada. Tapi, walau sudah diberi panduan garis untuk alurnya, tetap saja tidak mudah. Tangan dan jari yang terbiasa menekan tuts huruf-huruf di keyboard komputer, dan menggerakkan arah mouse sembarang, akan menambah sulitnya membuat garis halus, melengkung ataupun lurus, dengan rapi. Hasilnya, pasti akan terasa nilai goresannya.
[caption id="attachment_143147" align="alignright" width="350" caption="Mengoleskan parafin ke sisi kain"][/caption]
Sejatinya, membatik harus melalui proses. Mencoba menjiplak kain dengan motif yang sudah tersedia juga perlu ketrampilan. Menjiplak kain dengan pinsil adalah awal dari latihan menggores garis lengkung ataupun lurus. Tanpa rasa dan imajinasi, garis panduan yang tergambar akan terlihat tidak rapi. Itupun kalau terpaku dalam satu motif. Sementara kain batik yang panjang dan luas, memerlukan banyak motif dan variasi. Jutaan motif bisa dileburkan dalam satu kain, tapi imajinasi lukisan tetap harus satu. Pengulangan motif juga merupakan ciri khas dalam kain batik, namun pencampuran beberapa motif haruslah punya daya imajinasi tersendiri. Tidak semua orang punya daya imajinasi itu.
Saat tertarik dengan satu motif, maka perlu kebijaksanaan dan imajinasi yang artistik untuk memilih motif pendukung lainnya. Jika terlalu banyak motif yang asal pilih, maka lukisan dalam kain batik tidak akan terasa nilai artistiknya. Janganlah dulu menilai keindahannya, kerapihan dan keunikan pilihan motiflah yang harus dijalani dulu.
Bersama anakku, Sarasvati dan keponakanku Iqbal, juga dengan Kang Iwan, Nathalia, Listiyo Fitri, Ika Parhusip, Santi Imoet, I Je dan Zakiah Hasmawaty (teman I Je), serta tim penggembira Gugun Junaedi, Hazmi Srondol, dan Arif B Santoso dan putranya, kami mencoba belajar seni tradisi membatik di Museum Tekstile, KS Tubun, Tanah Abang. Sebelumnya Rahmi Hafizah sudah datang bersama keponakannya, namun serangan perut membuatnya tidak ikut melukis kain ini.
Dipandu beberapa orang dari pihak Museum Tekstile ini, kami terbagi dalam beberapa kelompok duduk di atas dingklik, mulai menggoreskan lilin dengan canting di atas kain seluas sapu tangan. Karena keterbatasan waktu, proses membuat jiplakan motif dengan pinsil ke atas kain, terpaksa kami lewati. Padahal inilah proses membiasakan diri dengan garis dan motif.
[caption id="attachment_143158" align="alignright" width="350" caption="Mewarnai kain"][/caption]
Selesai menggoreskan lilin di kain atas, kemudian menggoreskan lilin kembali ke balik kain tersebut. Nah, ini juga bagian yang tak kalah sulit. Garis dari satu sisi yang sudah halus, tidak boleh rusak akibat ditimpa garis baru di balik kain. Jika tidak mengikuti garis sebelumnya, maka hasilnya akan menjadi garis tebal tidak terarah. Setelah menjiplak garis di kedua sisi kain, kami pun harus punya daya imajinasi tambahan untuk menghias gambar yang sudah jadi. Bisa memblok lubang-lubang dalam motif, ataupun memberi sentuhan garis baru atau titik-titik di kain itu. Memberi titik-titik dengan rata dan terarah, bukanlah sesuatu yang sederhana. Tidak terarah atau bermotif kacau, bisa menurunkan nilai artistiknya. Terjawablah bagaimana rasanya kesabaran kami untuk memberi titik-titik yang rapi, bahwa perlu tingkat kesabaran yang tinggi. Bayangan kami terlempar di sehelai kain panjang yang dipamer di Museum Tekstil, yang di atas kain itu tergambar banyak sekali titik-titik yang rapi susunannya.
Selesai memberi goresan lilin itu, mulailah proses mencuci dan mewarnai. Sebelumnya kita bisa menambah cairan lilin lain (kalau tidak salah terbuat dari parafin) di pinggir kain untuk menambah aksen bingkai. Jika lilin parafin ini mengering, bisa kita pecahkan dengan menekuk-nekuk kain untuk memberi efek motif.