Akhir-akhir ini, semakin marak adu isi di media sosial. Mau di facebook, instagram, twitter ataupun youtube. Saya pada awalnya mulai meninggalkan akun twitter, karena rasanya gerah membaca trending topic atau sliweran postingan beberapa orang yang semakin lama semakin 'kasar' dan 'kasar'nya pun kolektif, makanya jadi trending topik.
Agak mereda ketika masuk ke ajang Olimpiade, trending topik mulai diselingi dengan keberhasilan atlet Indonesia berprestasi dan meraih medali. Walaupun, saat artikel ini ditulis, harapan medali tinggal tergantung pada ganda puteri dan tunggal putra cabang olah raga bulutangkis.
Saya pada akhirnya, mulai kembali melirik tulisan blog dari beberapa teman yang lebih sistematis dan berupa artikel. Lumayan, bisa membantu konstruksi persepsi.
Akan tetapi, godaan untuk kepo melihat sliweran postingan, komen dari beberapa isu yang ramai belakangan ini, tak pelak membuat saya akhirnya kembali tertarik untuk melihat beberapa akun sosmed yang selama ini tidak terlalu aktif saya gunakan.
Nah, saya melihat, memang ada beda antara BuzzerRP dan Buzzer Syariah yang kemudian mengendalikan isu-isu, utamanya di twitter yang dalam jangka wakatu tertentu seperti jadi 'tempat sampah' karena menjadi tempat 'buang hajat digital' yang kadang-kadang mengumbar kata-kata yang rasanya tidak semestinya ditulis/diucapkan. Tapi, mungkin buat BuzzerRP yang memang tak mengenal 'rasa dalam kata', hal itu justru jadi strategi. Bagi BuzzerRp, semakin besar reaksi yang ditimbulkan dari netizen terhadap statemennya, maka semakin berhasil pekerjaannya. Namanya juga BuzzerRP... In RP we Trust.
Apakah BuzzerRP ini ada gunanya? banyak. Utamanya bagi yang membayarnya. Isu-isu yang memojokan sang pembayar, seketika tenggelam oleh isu-isu yang dikampanyekan oleh BuzzerRP. Lihat saja 'perang trending topic'... bagi yang jeli membaca, pastinya paham, mana buzzerRP, mana juga yang digerakkan oleh nurani.
BuzzerRP ini geraknya dimulai dari jemari -> otak -> mungkin tanpa nurani.
Apa pula 'Buzzer Syariah', ini istilah saya saja, untuk memberikan gambaran, bahwa masih banyak netizen yang mengungkapkan isi hati melalui sosial media murni karena digerakkan hati nurani. Geraknya dimulai dari hati - otak - jemari. Mereka merasa galau dengan kondisi, bertanya kepada nuraninya, kemudian berpikir untuk mencerna dan memerintahkan jemarinya untuk menuliskan. Mungkin tak menjadi trending topik, tapi paling tidak sudah mem-broadcast kepada dunia, apa yang dirasakan oleh hati nuranisnya.
Apakah BuzzerRP mengalahkan Buzzer Syariah?
Bisa ya bisa tidak. Bisa ya, jika kegalauan hati nurani menjadi kegalauan kolektif; dzalimnya sudah sampai ke tulang sumsum; mungkin akan terjadi BuzzerRP tenggelam.
Akan tetapi, bisa juga BuzzerRP terus menang, karena dana yang tak terbatas diguyurkan untuk membiayai mereka. Selama itu pula kebenaran akan selalu ditenggelamkan pembenaran. Lebih lagi, pembenarannya sesuai pesanan. BuzzerRP pun kemudian menikmati pesta prasmanan.