Beberapa pekan ini cukup melelahkan untuk saya. Sambil menjalani profesi sebagai trainer social entrepreneur berkeliling ke beberapa kampus di Yogja, Palembang, Bandung, Lampung hingga Semarang; saya bersama warga di kampung, terlibat dalam sebuah proses demokrasi yang tak pernah saya duga sebelumnya; utamanya terkait dengan pemanfaatan social media.
Ternyata, kondisi desa yang makin parah dengan beberapa penyelewengan dana, baik anggaran dana desa, maupun anggaran dari sumber lain, yang sudah makin parah; puncaknya penjualan tanah aset desa senilai lebih dari 1 Milyar yang disertai dengan pemalsuan tanda tangan; ditambah dengan kasus korupsi dana rumah tidak layak huni, serta program betonisasi jalan kampung.
Luar biasa, seorang pengangguran, yang awalnya banyak menghabiskan waktu dengan memancing atau hilir mudik kesana kemari; tetiba mendapat durian runtuh setelah dititipi 'dana untuk beli suara' dari seorang politisi yang akan maju ke pemilihan legislatif. Dana ratusan juta itu, bertepatan waktunya dengan pemilihan kepala desa. Awalnya tak ada yang menduga, Gundul Songong 'nyalip' sebagai calon kepala desa; karena telah banyak calon yang sebelumnya cukup punya track record di masyarakat, maju untuk merebut kursi kepala desa.
Dengan dana titipan untuk 'beli suara' itulah, akhirnya, warga diserbu dengan sembako, padahal cuma beras 1 liter dan mie instan. Semuanya luput dari jeratan. Dan Gundul Songong pun melenggang jadi kepala desa.
Apa yang terjadi setelah itu? Sang Caleg pun melenggang maju jadi anggota legislatif, dengan kontribusi suara lebih dari 50% dari Gundul Songong; bonusnya adalah Gundul Songong jadi kelapa desa.
Ternyata, slogan 'yang muda yang berkarya' tak jadi ditunjukan oleh Gundul Songong; malah merajalela korupsi yang dilakukannya. Mulai dari jual tanah garapan senilai 1M, bikin sertifikat palsu, berhutang sana-sini, hingga mengambil hak kaum dhuafa melalui program rumah tidak layak huni, yang dipotong nyaris 50%.
Rupanya, uang setan dimakan iblis. Gundul Songong yang pernah digunduli setelah masuk bui 18 hari, bisa keluar, dengan syarat (menurut kabar kabur) harus setor sekian juta rupiah kepada oknum hellboy. Entah benar atau tidak; akan tetapi yang terjadi kemudian, makin lihai bermain, makin banyak hak warga yang tak terpenuhi.
Proyek betonisasi jalan, senilai Rp 521jt, mangkrak. Usut punya usut, ternyata berhutang 300jt kepada salah satu pemborong dan tak dibayar; kemudian di november 2017 ini kelar dengan kondisi jauh dari yang seharusnya. Belum lagi pembangunan jalan kampung, yang harusnya bisa bikin nyaman, ternyata seperti jalan untuk refleksi, karena batu kerikilnya berlompatan dan bikin sakit telapak kaki kalau melewati jalan dengan bersandal jepit. Di wilayah lain, jalan-jalan yang didrop bahan bangunan berupa semen dan pasir, tetiba di laporannya, berupa ember, paku dan bahan bangunan lainnya. Kabar-kabur menyebutkan, isteri Gundul Songong membuka matrial dan menyuplai bahan bangunan dengan bon seenaknya. Itu perlu ditelusuri.
Belum lagi, beberapa anggaran yang fiktif, seperti adanya kegiatan Karang Taruna desa, yang sebenernya tidak ada. Dialokasikan senilai puluhan juta, tahunya tidak ada. Guru ngaji pun tak luput dari sunatan Gundul Songong.
Semua ini sedang diproses di kejaksanaan (jampidsus).....
Yang menarik adalah....