Lihat ke Halaman Asli

Trias Politica Tak Lagi Jadi Trending Topic

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TRIAS POLITICA YANG TAK LAGI MENJADI TRENDING TOPIC

A.Pembuka

Trending Topic adalah istilah yang lazim digunakan dalam media sosial twitter untuk menunjukan betapa satu topik tertentu telah menjadi tren pembicaraan banyak orang, baik dalam lingkup satu negara, regional, maupun lingkup internasional yang kita kenal dengan istilah world wide trending topic, dalam tagar #WWTT. Dengan meminjam istilah tersebut dalam konteks ilmiah, saya ingin mengatakan bahwa konsep Trias Politika yang populer itu, kini tidak lagi menjadi trending topic dalam sistem ketatanegaraan di dunia. Tren-nya perlahan memudar, seiring dengan semakin berkembangnya pemikiran dan semakin dinamisnya perubahan sistem dan struktur kenegaraan negara-negara di dunia.

Sedikit banyak saya sepakat dengan pendapat R. A. B Kusuma dalam tulisannya perihal “mubah”-nya Indonesia mengikuti paham Trias Politika ala Montesquieu, yang akan coba dalam diurai dalam tulisan singkat ini, yang antara lain berisi tentang asal mula lahirnya paham trias politika secara singkat, dan mengapa trias politika menjadi tidak wajib diikuti oleh Indonesia.

B.Asal Mula Trias Politika

Sekitar tahun 1690, John Locke menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul Two Treatises of Government. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja dan “memiliki milik (property)”. Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Locke mengangkat itu, karena pada masa itu,   kepemilikan setiap orang menjadi rentan, apabila dihadapkan dengan kepentingan raja-raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik individu, dengan dalih beraneka ragam. Bahkan individu sampai berperang dengan raja akibat persengketaan milik ini, misalnya kepemilikan peternakan, tanah, dan hak milik lainnya.

Kesewenangan raja-raja itu yang hendak dibatasi Locke. Menurutnya, negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, yang kemudian menjadi tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

Pada saat yang hampir bersamaan, tindakan sewenang-wenang raja yang banyak melanggar hak asasi juga terjadi di Perancis. Ketika itu raja Louis XIV bertindak layaknya sentra kekuasaan tunggal, yang populer adalah ketika dia mengatakan L ‘etat C’est Moi yang berarti bahwa “negara adalah saya”.Melihat gelagat buruk tersebut, terbitlah kritikan Montesquieu dalam buku berjudulL‘esprit de Lois atau Spirit of Law yang terbit pada tahun 1748, yang kemudian berhasil menggulingkan Louis XI dari tahtanya. Montequieu berpendapat bahwa, untuk membatasi kekuasaan raja, maka harus terdapat pemisahan kekuasaan. Dia mengatakan, semestinya kekuasaan pemerintahan dibagi dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan, jika tidak kebebasan akan terancam.

Montequieu mengembangkan teori John Locke dengan memisahkan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang bebas, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadil (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan ke dalam cabang kekuasaan eksekutif.

Sejak saat itu Montesquieu dikenal luas pandangannya tentang konsep pemisahan kekuasaan atau separation of power.Bahkan sampai sekarang, Montesquieu menjadi rujukan dalam buku-buku ketatanegaraan terkait konsep pemisahan kekuasaan yang dikembangkannya. Yang ideal menurutnya, bahwa ketiga fungsi kekuasaan tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara, dimana satu organ hanya boleh melaksanakan satu fungsi kekuasaan, dan mutlak tidak boleh mencampuri urusan masing-masing kekuasaan. Kemutlakan versi Montequieu inilah yang menurut saya tidak lagi tepat digunakan dalam sistem kenegaraan negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Apalagi realitas menunjukkan bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya adanya tiga cabang kekuasaan di suatu negara sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.

C.Mengapa Trias Politika Hukumnya “Mubah” Bagi Indonesia?

Dalam konteks agama, istilah mubah dapat diartikan secara umum berupa kebolehan. Apabila ditinggalkan tidak berdosa, apabila dikerjakan tidak berpahala. Demikian halnya ketika kebolehan itu digunakan terkait konsep trias politika di Indonesia, maka sifatnya menjadi boleh digunakan atau boleh tidak digunakan.

Secara umum trias politika Montesqueiu menginginkan cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun kita juga melihat bahwa Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat (zakelijk) di antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja, atau dapat dimaknai bahwa dalam menjalankan fungsi atau kewenangannya, cabang kekuasaan negara punya eksklusifitas yang tidak boleh disentuh atau dicampuri oleh cabang kekuasaan negara yang lain. Meskipun demikian, apabila ditelaah lebih mendalam, sesungguhnya tak satupun teks konstitusi maupun dalam praktek dimanapun yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan secara kaku. Baik dalam rumusan formal maupun apalagi dalam kenyataan praktek, fungsi-fungsi kekuasaan selalu bersifat tumpang tindih.

Karena sulit untuk membuktikan bahwa ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat bahwa teori Montesquieu tidak pernah dipraktikkan secara murni dan Jimly berpendapat bahwa “Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.Bahkan jauh-jauh hari Soekarno telah menyatakan bahwa trias politika merupakan sesuatu yang kuno, kadaluwarsa, dan kolot.

Karena banyaknya kritik terhadap teori pemisahan, kemudian, dikembangkan teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power atau division of power), dengan pertimbangan bahwa praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Kemudian Strauss, sebagaimana dikutip Saldi Isra, menjelaskan bahwa “Unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue”. Berdasarkan pendapat Strauss tersebut, checks and balances lahir dalam upaya mencegah penyalahgunaan di antara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi setiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, checks and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antar-cabang kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme checks and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.

Amerika Serikat, menjadi negara yang dianggap paling kuat menganut prinsip trias politika karena pemikiran Montesquieu banyak mempengaruhi orang Amerika saat undang-undangnya dirumuskan. Misalnya, presiden tidak dapat dijatuhkan kongres, dan sebaliknya. Presiden dan menteri dilarang merangkap sebagai anggota kongres, serta presiden tidak diperkenankan membimbing kongres. Mahkamah Agung berkedudukan bebas, sekali diangkat presiden, selanjutnya tergantung kelakuannya.

Meskipun demikian, dalam perkembangannya Amerika Serikat memilih untuk fleksibel dalam mengejawantahkan prinsip-prinsip trias politika murni dan ketat ala Montesquieu. Mekanisme checks and balances kian kentara dalam hal hubungan antar lembaga negara yang berarti juga hubungan antara cabang kekuasaan. Mekanisme “saling mempengaruhi” itu antara lain terlihat pada hubungan antara cabang legislative dengan cabang eksekutif. Presiden dapat memveto undang-undang, sebaliknya kongres dapat menolak veto presiden, dan dapat meng-impeach presiden lewat kewenangan yang diberikan undang-undang. Dalam hubungan antara cabang eksekutif dan yudisial, presiden memberikan persetujuan pengangkatan Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung dapat menyatakan presiden telah melakukan tindakan inkonstitusional yang berujung pada judicial review. Sedangkan hubungan antara cabang kekuasaan legislatif dan yudisial terlihat pada kemungkinan impeachment yang diberikan kongres kepada Mahkamah Agung, sedangkan Mahkamah Agung dapat menyatakan tindakan kongres sebagai tindakan inkonstitusional yang diakhiri proses judicial review. Namun sayangnya, mekanisme checks and balances pun tidak sepenuhnya berjalan mulus, khususnya bagi negara-negara yang demokrasinya baru berkembang.

Dengan demikian, apabila merujuk pada pendapat para Ahli dan apabila berkiblat pada negara yang dianggap paling konsekuen menerapkan trias politika secara murni dan menjadi referensi ketatanegaraan negara-negara di dunia, telah terjadi perkembangan yang nyata bahwa prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan secara mutlak, dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan. Mekanisme checks and balances pun belum memenuhi cita-cita dan harapan bersama. Oleh karenanya, menurut saya, Indonesia boleh-boleh saja untuk tidak menerapkan trias politika dalam praktek-praktek kenegaraannya.

D.Mudharat-nya Jika Trias Politika Diterapkan Secara Ketat di Indonesia

Seperti kita ketahui dan alami bersama, jika diterapkan di negara yang tradisi demokrasinya belum mapan (demokrasi transisional), maka konsensus politik akan sulit dicapai karena masing-masing merasa “paling berkuasa”. Setiap cabang kekuasaan dalam trias politika menjadi “kekuasaan-kekuasaan” baru yang saling bersaing satu sama lain. Hal ini sebenarnya wajar, karena setiap cabang diasumsikan otonom, punya kewenangan spesifik, diselenggarakan individu/kelompok spesifik, yang berpotensi setiap cabang terlepas dari tujuan pokok sistem politik. Padahal, secara teoritis setiap cabang dalam trias politika seharusnya saling bergantung satu sama lain. Contohnya yang terjadi di Indonesia sebagai misal, DPR bersikap "asal kontra", Presiden "tumpul dalam eksekusi", mahkamah "mengalami disorientasi." Ini merupakan ekses negatif dari trias politika. Padahal, sekali lagi, dalam trias politika, kondisi yang diharapkan terjadi adalah "checks and balances" bukan pendominasian.

Dapat kita bayangkan apabila pemisahan kekuasaan dilakukan secara ketat, dimana terdapat pembatasan atas masing-masing kekuasaan, namun kekuasaan tersebut dibuat terpusat di satu tangan. Cukupkan era executive heavy hanya tercatat dalam bukusejarah anak-anak kita, tanpa perlu kita ulang kembali. Oke, kita bisa mengatakan UUD 1945 yang cenderung executive heavy sudah selesai masanya dengan diamandemennya konstitusi yang kita miliki, sehingga pada gilirannya mulai diberlakukan prinsip checks and balances di Indonesia. Namun, checks and balances versi kita pun ternyata belum mampu memperbaiki kekurangan yang ada.

Seperti kita pahami bersama, bahwa checks and balances dimaksudkan sebagai fungsi kontrol dari masing-masing cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan yang lain, namun dalam prakteknya fungsi perimbangan dan pengecekan tersebut dapat dikatakan sekedar simbol belaka supaya kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan kita dapat terlihat sudah semakin maju. Nyatanya DPR lebih sibuk pada urusan pelesiran bertajuk studi banding yang anggarannya miliaran. Pengawasan terhadap kelembagaan kepresidenan sebagai pemegang kendali eksekutif dilakukan hanya sekedar untuk menunjukkan dirinya terlihat “sangar” dan lebih superior. Sebaliknya, Presidentampak gamang untuk melakukan perimbangan atas kekuasan DPR. DPR begitu leluasa dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Tidak ada yang secara efektif dapat mengontrol dan menyeimbangkan peran DPR. DPD yang lahir dari hasil amandemen dengan cita-cita untuk menjadi lembaga pengontrol dan penyeimbang, dengan sistem bikameral, ternyata terbentur pada kewenangan yang sangat terbatas. Akhirnya dengan kekuasaan yang luar biasa dan nyaris tanpa “tandingan” itu membenarkan apa yang Acton nyatakan bahwa power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely. Kecenderungan bahwa DPR sekarang ini korup, sebenarnya sudah kita rasakan. Begitu banyak anggota DPR yang harus berhubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan bahkan kemudian mendekam di dalam penjara karena terbukti korupsi. Inilah hasil dari doktrin trias politika plus checks and balances yang gagal terhadap cabang kekuasaan legislatif.

Sebaliknya, Pemerintah, apabila merujuk pada doktrin trias politika, bertindak sebagai pelaksana undang-undang. Dengan dalih melaksanakan undang-undang, maka dapat saja Presiden beserta kabinetmembengkakkan diri dalam entitas birokrasi, yang ditandai dengan makin banyaknya lembaga-lembaga pemerintahan (di bawah eksekutif) yang dibentuk. Hal inilah yang terkadang lepas dari kontrol DPR, yang berarti juga kegagalan checks and balances terhadap cabang kekuasaan eksekutif.

Dan yang paling mutakhir adalah perihal penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sangkaan penyuapan, yang menurut saya merupakan potret kegagalan berikutnya dari konsep trias politika dan checks and balances terhadap cabang kekuasaan yudisial. Betul memang, sejatinya kekuasaan kehakiman adalah kamar kekuasaan yang bebas dan merdeka. Namun dalam rangka kontrol dan mengejawantahkan checks and balances, eksekutif dan legislatif pun dapat “masuk” ke dalam kamar itu dan memiliki peran. Bukan dalam proses menentukan keputusan menghadapi suatu perkara, tapi dalam pemilihan hakim, misalnya. Pada awalnya, mekanisme checks and balances terhadap kamar yudisial berjalan benar, yakni dengan ikut sertanya DPR dan Presiden memberikan persetujuan atas nama-nama yang akan menduduki jabatan hakim konstitusi melalui media uji kelayakan. Namun, akibat kontrol yang tidak tepat, uji kelayakan akhirnya berakhir pada episode uji kekuatan politik yang berarti apa memilih siapa, siapa disukai siapa, dan seterusnya. Berbeda dengan DPR yang mendapatkan kekuasaannya secara “alami”, Mahkamah Konstitusi dibiarkan untuk melakukan pengawasan secara mandiri, ketimbang diawasi oleh organ lain yang sudah disiapkan untuk itu. Checks and balances seakan hilang, yang berlaku adalah trias politika murni ala Montesquieu. Sederhananya, tak ada yang boleh mencampuri urusan “rumah tangga” Mahkamah, selain Mahkamah itu sendiri. Imbasnya kita lihat pada apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dewasa ini, di mana Ketua-nya menjadi “korban dari kekuasaannya sendiri”.

Dengan demikian, yang ingin saya katakan --sekaligus sebagai penutup esai ini-- adalah kemubahan bagi kita untuk mengikuti prinsip-prinsip populer bernama trias politika dapat berubah menjadi mudharat apabila kita tidak benar menempatkannya. Harus kita akui bahwa bangsa kita masih dalam tahap belajar berdemokrasi yang baik, demokrasi transisional. Maka segala kecenderungan untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan oleh cabang-cabang kekuasaan sangatlah besar. Dengan kata lain saat ini kita sedang mencari format terbaik, yang oleh karenanya, tiada sedikitpun paksaan bagi kita untuk mengikuti prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan ala trias politika baik dengan maupun tanpa embel-embel checks and balances seperti milik negara lain, apalagi hanya sekedar mengikuti trend semata. Boleh demokrasi ala trias politika, boleh khilafah, boleh sosialis. Kita bebas sebebas-bebasnya untuk memilih sistem yang terbaik bagi kita, dengan menyesuaikan jati diri dan kepribadian bangsa yang kita miliki, yang kemudian dapat kita namai misalnya, “sistem sendiri”, suatu istilah yang digunakan oleh R. Ananda B. Kusuma dalam tulisannya yang lain. Dan itu yang senantiasa menjadi PR kita bersama. Salam.



BAHAN BACAAN

Asshiddiqie, Jimly. 2005. HTN dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi Revisi Jakarta: Konstitusi Press.

Kusuma, RM. Ananda B. 2011. Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensiil “Orde Reformasi”. Jakarta: Badan Penerbit FHUI.

Stefanus, Kotan Y. 1998. Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945). Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya.

Saldi Isra (web personal). Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakan Hukum, dikutip dari www.saldiisra.web.id

dan lain-lain

John Locke dalam Two Treatises of Civil Government,(London: J.M.Dent and Sons Ltd, 1960)sebagaimana dikutip Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006)hal. 34.

Jimly Asshidiqie, Perkembangan….., hal. ix

Ibid, hal. 34

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, 2006), hal. 11.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Edisi Revisi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hal. 34

Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya,1998), hal. 30.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan.., Op. cit, hal. 17.

Saldi Isra, Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakan Hukum , dikutip dari http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=76:negara, ( web personal Saldi Isra) diakses pada 8 Oktober 2013 jam 15.00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline