Lihat ke Halaman Asli

Azzumi Gigannia

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan PBIO, Semester 1

Keaksaraan Orang Dewasa: Perlukah menjadi Perhatian?

Diperbarui: 12 Desember 2022   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejatinya setiap orang hidup dengan cara berkomunikasi satu sama lain. Sedari dini manusia diajarkan untuk berinteraksi antar satu sama lain lewat pendidikan. Pendidikan merupakan dasar yang sangat penting bagi setiap orang. Tak jarang orang dewasa yang dulunya tidak mendapatkan pendidikan yang layak, seringkali terjebak dalam kondisi tuna aksara. Ketidakmampuannya dalam menulis, membaca, dan berhitung pada usia yang ‘terlambat’ mendatangkan kesulitan terhadap orang yang tidak melek aksara.

Keaksaraan merupakan sebuah keharusan bagi setiap negara. Keaksaraan merupakan suatu kepentingan baik bagi anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Keaksaraan adalah suatu kunci di mana negara dapat memiliki kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang baik. Tingkat keaksaraan yang rendah akan berimbas kepada kualitas SDM negara tersebut. Jika kualitas SDM suatu negara rendah, maka setiap proses yang menyangkut keadaan sosial, ekonomi, dan politik negara tidak akan berjalan dengan baik juga.

Pentingnya keaksaraan di Indonesia juga telah diatur di dalam undang-undang. UU pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pasal tersebut telah menerangkan bahwa pemerintah telah menyediakan wadah untuk warga negaranya dapat menuntut ilmu sehingga dapat terbebas dari buta aksara. Namun sampai sekarang, masyarakat yang belum melek aksara masih banyak ditemui di beberapa daerah.

Lantas, bagaimana kinerja pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan ini?

Menurut data yang didapat dari sumber Badan Pusat Statistik (BPS), presentase buta huruf di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 3,96%. Menurut usia 15-44 tahun ke atas, presentasenya hanya sebesar 0,73%. Namun pada usia 45 tahun ke atas, presentase buta huruf mencapai hingga 9,25%. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan pada tahun 2016 yang mencapai 4,62%. Presentase buta huruf pada usia 15-44 tahun ke atas di tahun 2016 mencapai 1,00% dan pada usia 45 tahun ke atas mencapai 11,47%. Permasalahan genting ini telah disadari oleh pemerintah Indonesia. Melihat dari grafik presentase buta huruf yang telah direkam selama ini, pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan sedikit demi sedikit angka buta huruf yang ada di Indonesia.

Tingkat buta aksara di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan negara lain. Hal ini dapat disebabkan karena alokasi anggaran yang digunakan untuk perpusnas, salah satu instansi yang mengelola dalam bidang keaksaraan, masih terbilang cukup rendah. Komisi X DPR hanya memberikan 675,53 miliar rupiah kepada perpusnas untuk anggaran tahun 2021. Anggaran tersebut masih dikatakan rendah jika dibandingkan dengan negara singapura. Walaupun Singapura memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit, namun pemerintahnya mengalokasikan dana untuk instansi seperti perpusnas sebesar 1,7 triliun rupiah per tahunnya.

Pemerintah telah menggencarkan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan ini. Menurut Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud, Jumeri, mengatakan kemendikbud telah menyiapkan empat strategi dalam mengatasi permasalahan buta aksara yang ada di Indonesia. Pertama, pemerintah perlu melakukan survei terlebih dahulu terhadap daerah yang  perlu diprioritaskan dalam pelaksanaan program. Pemerintah juga menyediakan layanan program pendidikan keaksaraan untuk masyarakat terutama yang berada di klaster yang memiliki tingkat buta aksara lebih tinggi. Pemerintah juga mengembangkan jejaring dan sinergitas, termasuk memelihara kemampuan beraksara masyarakat. Selanjutnya, pemerintah juga mengembangkan program yang inovatif salah satunya yaitu dengan melakukan layanan program secara daring.

Apakah Indonesia sudah terbebas dari masalah buta aksara?

Menurut saya, Indonesia masih belum terbebas dari permasalahan ini. Walaupun presentase buta huruf semakin turun, kinerja pemerintah untuk mengentas tuna aksara di Indonesia tidak boleh padam. Pemerintah perlu memberikan upaya yang lebih serta menggencarkan program pemberantasan tuna aksara secara merata ke seluruh Indonesia. Jika masyarakat Indonesia dapat terbebas dari permasalahan buta aksara, kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan pun akan semakin baik.

Tanpa adanya kebangkitan dari permasalahan keaksaraan, negara ini akan terus terhambat kemajuannya. Kemajuan negara Indonesia akan berkembang pesat ketika masyarakatnya dapat berdaya baik dalam kehidupan bermasyarakat, ekonomi, serta politik. Pemberantasan buta aksara dapat berimbas dalam pemberantasan kemiskinan, pengurangan angka pengangguran, kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan, dan lain sebagainya.

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, yang di mana dalam sistem tersebut warga negaranya terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidupnya dalam kebijakan pemerintah. Warga negara yang memiliki keaksaraan yang baik tentunya akan berpartisipasi secara aktif di negaranya. Salah satu contoh partisipasi masyarakat terhadap negaranya terlihat ketika diadakannya pemilu. Masyarakat yang terbebas dari buta aksara tentunya akan memilah berbagai informasi yang diterimanya sehingga dapat mengambil keputusan yang baik yang akan mengubah hidupnya juga. Sebaliknya, jika masyarakat memiliki tingkat keaksaraan yang rendah, informasi yang diterimanya pun terbatas karena terhambat oleh kemampuan yang dimilikinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline