Lihat ke Halaman Asli

Kartini Tentang Al-Baqarah 257

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Aku adalah hanya, tercipta dari surat-surat lara yang paling entah, aku lahir dari sejarah yang dikebiri” – Helvy Tiana Rosa; Perjuampaan malam itu dengan Kartini

Pesisir Utara Jawa, Akhir Abad 19….
Syahdan, suatu waktu Kartini berkunjung ke rumah salah satu pamannya. Kebetulan di rumah sang paman tersebut tengah berlangsung sebuah pengajian yang dibawakan oleh Kiai Sholeh Darat, Kyai yang juga merupakan guru tempat belajarnya Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari. Keduanya kelak menjadi pendiri dua organisasi islam terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Sebagai keluarga bangsawan di jawa waktu itu, paman Kartini tentu tak teramat sulit untuk mengundang penceramah sekelas Romo Kyai.
Pada kesempatan itu Romo Kyai (kelak menjadi panggilan akrab Kartini kepada Kiai Sholeh Darat) mengupas makna kandungan surah al-fatihah. Dijelaskan dengan bahasa jawa yang mudah dipahami, serta dibawakan dengan penyampaian yang menarik. Tak dinyana, lewat moment itulah kemudian Kartini kesengsem dengan cara kiai dalam membawakan penjelasan. Ia merasa ada semacam pencerahan yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya, sebab selama ini ia hanya membaca kitab suci tanpa mengetahui maknanya.
Maka ketika pengajian telah usai, dengan sopan ia meminta agar Romo Kyai berkenan menerjemahkan Al-qur’an kedalam bahasa jawa. Sebab menurutnya ‘tak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya’. Demikianlah, Kartini memang sebuah pesona, tokoh emansipasi abad 19 itu adalah seorang tokoh yang epik namun sekaligus juga tragik, begitu kata Goenawan Mohammad. perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal dalam umur dua puluh empat tahun.
Ternyata Romo Kyai pun menyambut dengan antusias permintaan Kartini, salah satu muridnya yang berasal dari kalangan priyayi itu. Maka tak lama berselang, dimulailah tugas peradaban itu. Tugas sejarah yang sakral. Menerjemahkan Al-qur’an ke dalam bahasa Jawa. Supaya kelak, tak hanya para santri saja yang bisa menghayati keindahan makna Al-Qur’an, namun juga dapat dinikmati oleh seluruh pribumi Jawa. Sebab, dengan terbacanya makna maka akan tergapai pencerahan. Dengan pencerahan, maka pribumi akan bangkit melawan penjajahan. Berjuang memerdekakan diri mereka dari penjajahan kolonial
Namun, proyek penerjemahan itu bukan tanpa rintangan. Sebab Kyai pun sanngat mafhum dengan apa yang akan menjadi konsekuensi, sekiranya hal itu diketahui gubernur jendral Hindia Belanda kala itu. Ya, penjara lah yang menantinya. Sebab kala itu, ada sebuah regulasi dari gubernemen yang berisikan larangan tentang segala bentuk penerjemahan Al-qur’an. Maka harus ada cara lain agar penerjemahan itu dapat terus berjalan tanpa diketahui oleh pemerintah kolonial. Dan untuk mensiasatinya, Romo Kyai menggunakan huruf pegon (arab gundul) agar tafsir yang ditulisnya tak dicurigai gubernemen.
Waktu berlalu dan hari pun berganti, hingga akhirnya proses penerjemahan pun usai. Oleh Kyai, kitab terjemahan itu diberi nama Faid Ar Rahman, yang merupakan kitab tafsir bahasa jawa pertama di Nusantara yang ditulis dengan aksara arab gundul. Kala itu, di hari pernikahan Kartini dengan Joyodiningrat, Kyai datang dengan membawa kitab tafsir. Kepada kedua mempelai kitab itu, diberikannya kitab tafsir itu sebagai semacam wedding gift. Sebuah pemberian yang nantinya akan mempengaruhi pemikiran Kartini.
Hingga tejadilah percakapan itu. Percakapan itu percakapan yang sederhana, berisi ucapan selamat dari Romo Kyai yang disambut haru oleh Kartini, ia kemudian mengucapkan terimakasihnya atas kesediaan Kyai mengadiri pernikahannya serta atas hadiah kitab tafsir yang diberikan ‘selama ini surah al-fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sekarang, menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya. Sebab Romo Kyai telah menerangkan dalam bahasa jawa yang saya pahami’ imbuh Kartini kepada gurunya tersebut.
Demikianlah tinta sejarah itu tergores. Kian sering Kartini membaca kitab tafsir pemberian Romo Kyai, semakin banyak juga pengetahuannya tentang agama. Hingga ia menemukan ayat favoritnya. Ayat yang kelak jadi inspirasinya dalam menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan. “Allah melindungi orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari gelap menuju cahaya…” (surah al-baqarah : 257). sebuah ayat yang mengajari manusia agar terus berpikir positif dalam memandang masa depan, juga berprasangka baik terhadap kehendak-Nya, Sang Maha Cahaya.
Itluah yang menjadi dasar keyakinannya. Bahwa kelak, suatu saat kaum perempuan di negerinya akan mampu keluar dari kungkungan ‘penjara tradisi’ yang cenderung mensubordinasi peran wanita. Kita tahu, Kartini hidup di zaman ketika wanita hanya boleh ‘mengurus dapur’. Ia adalah korban tradisi pada saat itu. Kelak, oleh seorang sastrawan bernama Armijn Pane. Buku berjudul Door Duisternis Tot Licht yang berisikan kumpulan korespondensi surat antara Kartini dan Stella Holander diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, terinspirasi dari ayat favorit RA Kartini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline