Lihat ke Halaman Asli

Azzami Haikal

Siswa kelas 7 di PKBM SAMERA INDONESIA

Belajar Menjadi Pribadi Peduli bersama Teman Tuli

Diperbarui: 8 Juli 2023   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di lingkungan keseharian, saya banyak berjumpa dan berinteraksi dengan teman yang memiliki perbedaan dalam hal fisik, intelektual dan bahasa atau disebut disabilitas. Bergaul dengan mereka saya belajar banyak hal, selama ini mereka dianggap memiliki kekurangan dan sulit diajak main ternyata saya salah. Teman yang menyandang status disabilitas memiliki kelebihan yang terkadang bisa lebih hebat dari saya yang disebut normal. Salah satunya adalah kakak kelas saya yang bernama Nurmahdalena atau biasa kami panggil Kak Lena. Awalnya semua orang menyebut orang yang memiliki gangguan pendengaran disebut sebagai tuna rungu, tapi Kak Lena meminta kami menyebutnya teman tuli.

Kak Lena menggunakan alat bantu dengar yang pastinya sangat membantu saat berkomunikasi dengan beliau. Hanya saja ketika berbicara saya harus mengeraskan suara agar didengar dengan baik atau menyentuh tangannya agar ia bisa melihat bibir kita ketika berbicara. Dari sinilah saya jadi memahami bahwa dalam berkomunikasi yang terpenting adalah mencoba untuk memahami orang yang diajak komunikasi dan tidak menuntut sama dengan cara kita sendiri atau memaksa orang lain untuk menggunakan cara yang sama. Di sekolah kami, anak-anak murid dibiasakan untuk berinteraksi dalam suasana yang inklusif. Selain Kak Lena, kami juga punya teman istimewa lainnya, diantaranya adalah anak slow learner, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau disebut gangguan pemusatan perhatian dan anak autism. Itu yang kami dengar penjelasan dari Bu Laila Sari sebagai Kepala Sekolah PKBM Samera Indonesia Deli Serdang Sumatera Utara.

Untuk membuat kami tidak mengganggu ataupun menjelek-jelekkan teman yang disabilitas, kami membuat kesepakatan agar tidak mengganggu teman disabilitas, mengajaknya bermain, belajar bersama, membantu jika ada yang kesulitan, dan tidak mengejek temannya yang lain. Kepala Sekolah dan Guru selalu mengingatkan kami untuk bersikap baik kepada semua teman apapun penampilan dan kondisinya. Kami pernah diajak berdiskusi dan role playing seandainya kami jadi teman yang disabilitas, apa yang kami rasakan jika ada teman yang menghina atau menghindar atau tidak mau berteman apalagi sampai menyakiti. Pembelajaran ini sangat membekas pada diri saya hingga saat ini.

Terkadang saya mendengar dari teman-teman di rumah bahwa ada orang yang tidak peduli bahkan menyakiti atau mengejek temannya yang disabilitas, bahkan perilaku perundungan ini menjadi hal yang biasa saja dilakukan sebagai bentuk keisengan. Saya jadi berpikir bagaimana seandainya itu terjadi dengan diri sendiri atau terjadi pada saudara dan keluarga sendiri?

Berdasarkan literasi yang coba saya kumpulkan, perundungan yang dialami teman-teman disabilitas ada beberapa jenis. Mulai dari perundungan fisik seperti memukul, menendang mencekik, dan lain-lain. Lalu ada perundungan verbal atau ucapan seperti mengejek, memberi julukan yang tidak bagus, menghina, dan lain-lain. Selanjutnya ada perundungan relasi sosial seperti menolak disabilitas, diabaikan, dikucilkan, dihindari, yang bertujuan menurunkan harga diri dan yang terakhir adalah perundungan elektronik atau cyber bullying yaitu perundungan di media elektronik misalnya membuat tulisan, gambar, ataupun video yang bertujuan untuk mengintimidasi, menakuti, dan menyakiti korban.

Masih ingatkah kita pada peristiwa yang terjadi di tanggal 21 September 2022 di Cirebon, tepatnya di Desa Bojong Kulon, kecamatan Susukan, kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Diambil dari berbagai sumber termasuk www.news.detik.com, terjadi perundungan  disabilitas oleh beberapa siswa SMA, korban terkena perundungan fisik seperti menendang korban, sampai menginjak bagian pundak korban, yang lebih parahnya lagi meski korban menangis dan berteriak kesakitan, mereka tetap melanjutkan merundungnya.

Menurut saya peristiwa tadi benar-benar mengerikan, bahkan meski korban berteriak kesakitan tetap saja dilanjutkan. Mengapa mereka melakukannya? Apakah tidak pernah diajarkan oleh sekolahnya bagaimana memperlakukan orang disabilitas?  Saya hanya bisa berdoa semoga murid-murid di sekolah saya tidak akan pernah merundung teman yang disabilitas.

Kembali pada kisah saya berinteraksi dengan Kak Lena, sebagai kakak kelas saya banyak belajar bagaimana sebaiknya bergaul dengan teman tuli. Mereka memang memiliki kekurangan karena tidak mampu mendengar dengan baik. Tapi teman tuli tetap diberikan Allah kelebihan berupa kepedulian yang tinggi ketika melihat temannya yang susah. Kami berlajar untuk sabar memahami apa yang mereka sampaikan (walaupun terkadang bahasanya terbalik) dan beberapa kejadian saya tidak memahami apa yang diinginkan Kak Lena. Berdasarkan pengakuan Kak Lena, ia menjadi percaya diri ketika kami menerima segala kekurangannya. Sebaliknya kami jadi lebih peduli untuk sabar menunggu apa sebenarnya yang dibicarakan dan dirasakan Kak Lena sebagai teman tuli.

Pada beberapa kesempatan, kami diajarkan cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang disebut dengan SIBI atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi bagi teman tuli. Kami diajarkan hal berbeda dan Kak Lena sangat sabar mengajarkan kami bagaimana berkomunikasi yang menyenangkan dengan anggota tubuh dan secara umum dipahami oleh banyak orang.

Makasih Kak Lena... Kakak mengajarkan kami untuk peduli dan tetap percaya diri walaupun memiliki kekurangan atau menjadi pribadi yang berbeda dengan orang kebanyakan.

Semoga bermanfaat

Salam inklusif




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline