Lihat ke Halaman Asli

Di Bawah Pohon Kelapa

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kita pernah berjanji untuk sehidup semati,dibawah pohon kelapa ini. Tetapi sekarang kau tak peduli lagi padaku. Kemana rasa cintamu yang dahulu. Yang kau katakan padaku dengan memelas iba. Aku menyelamatkanmu agar anakmu tak mati kelaparan selepas kau lahirkan. Dengan hartaku, dengan semua milikku.

“Cukup mas, cukup!” Semua kata-kata dan perlakuan kasarku keluar. Naik ke ubun-ubunku. Memuncak. Bagai hiruk-pikuk berlari-lari emosi amarah itu, tak cukup kuungkap dengan kata saja. Aku harus berbuat dengan tanganku. Biar semua perabotan rumah tangga jadi saksi atas perihnya lukaku.

Bahkan ketika anak kita yang kedua lahir. Kau hamil. Aku merawatmu dan menyediakan semua yang kau butuhkan. Tetap dalam benakmu masih saja aku yang kedua. Masih saja kau rutin menemuinya. Siapa dia?Aku suamimu….

Aku hampir tak tahu jalan pikiranmu, Yumi. Jalan yang membuat dirimu berubah 100 derajat celcius, memanas. Dahulu kita berbuat ini bersama. Kau setuju, dan Aku mulai melakukannya kepadamu. Kita tak lakukan hal itu sekali, berkali-kali, dua puluh kali mungkin ada. Bergantian dikamar tidurmu, dikamar tidurku. Sesekali kita pergi ke luar kota, ke pantai, penginapan, taman hiburan, air terjun.

Aku tak segan. Karena teman-temanku sekelas pun semua begitu. Walaupun bukan dengan aku, bukan dengan dirimu. Kita semua tahu. Ini sudah rahasia umum lagi. Kau takkan menutupinya bukan.

“Dengarlah, aku tak ingin istriku disebut poliandri. Biarlah cukup istilah itu terdengar untuk laki-laki. Karena memang sudah kodrat kita itu.” Kataku keras pada Sulton, sahabatku.

“Tetapi atas dasar apa? pernikahanmu kau runtuhkan gara2 egomu?lalu anakmu, dia tak mau mengurusnya!” Jarinya menunjuk jelas didepan mukaku mengarah pada anak-anakku yang lelap di tempat tidurnya.

“Biar aku tinggalkan bersama bapak dan ibuku. Atau ku titipkan ke panti asuhan. Beres kan!” Nadaku dengan berani. Ya, aku lihat banyak pasangan-pasangan itu tak nikah, melahirkan anaknya lalu menaruhnya di panti asuhan. Aku tak takut berbuat begitu.

“Gila, kau!sinting…”Gak waras. Lalu apalagi. Terserah.

Dahulu, ketika kita dipertemukan oleh Tuhan. Dalam satu waktu yang cerah dibawah pohon kelapa itu. Diantara semak-semak belukar dan suara burung merpati yang dikibarkan dalam peraduannya. Tuhan telah menulis ini semua dalam Lauh mahfudznya. Pertemuan kita; Perpisahan kita. Semuanya, peristiwa masa lalu kita dan takdir pernikahan kita. Aku memang ditentukan sebagai manusia yang buruk dan memang inilah jalan yang digariskan kepadaku. Aku tak bersedih. Justru aku lega, karena seperti inilah yang harusnya terjadi dan aku mampu melewatinya.

Aku bercerai.

***

Di bawah pohon kelapa, lambang mulia dalam pramuka. Pohon multifungsi kata orang-orang, nama latinnya : Cocos nucivera L. Janur-janur menguning dibuat sebagai hiasan dalam resepsi pernikahan. Beserta sirup yang merknya pun bersanding dengan pandan, jadi “pandan coconuts”. Atau jadi produk makanan, jadinya “nata de coco”. Itulah kelapa. Pohonnya tinggi diterpa angin. Tetapi suka menyendiri pula dari yang lainnya. Akulah kelapa. Jadi mantap.Hahaha….

Bagiku, pernikahan adalah sebuah sandiwara bodoh. Yang merontohkannku. Yang mengubah hidupku menjadi semakin parah. Yang membuat kuliahku menjadi terputus karena aktivitas kesenangan bersama istriku. Pada akhirnya, pernikahan itu selalu menyedihkan. Karena ditutup dengan kematian dan perpisahan. Tak ada yang disebut “happy ending” hanya pada saat pesta nikah dahulu dimana pohon kelapa jadi saksi.

Tiga bulan setelah perceraian itu aku melanjutkan studiku lagi di sebuah Universitas Negeri terkenal di Negara ini. Aku mengarahkan semua pilihan studiku ke luar kota. Malu, jikalau suatu saat aku bertemu temanku sendiri apalagi adik kelasku sekelas denganku. Maklum, muda-mudi pelajar tekun kotaku pasti akan memilih tetap belajar di kota pahlawan.

Ketika aku bertemu Sulton di Plasa Tunjungan minggu lalu, dia sempat mengabarkanku bahwa mantan istriku kembali lagi dengan mantan kekasihnya. Seorang aktivis gerakan mahasiswa islam di kampusku dahulu.

“Yang aku tahu sih, dia sekarang sudah jadi pula presiden lembaga eksekutif mahasiswa (LEM)”. Kata Sudron dengan nada serius.

“Yo iyo lah, Ton. Wong dia iku aktivis yang ditakuti. Aku pikir itu strategi IMMUNISASI biar tetap menguasai lembaga tertinggi di kampus. Tak ada kader lain, selain dia.”

Immunisasi yang bernama panjang Ikatan Mahasiswa Muslim Negarawan Islam Indonesia, merupakan sebuah gerakan mahasiswa yang mempunyai kader hampir di semua kampus-kampus negeri di Indonesia. Tujuannya jelas, untuk mendapatkan kader-kader bibit unggul dari kalangan mahasiwa. Walaupun di kalangan para aktivis mahasiswa sudah pada tahu sepak terjang gerakan ini dan cara-cara kotornya yang menjatuhkan kelompok organisasi lain. Termasuk afiliasinya dengan salah satu partai politik terkenal, Partai Sejahtera Selamat Sentosa (PS3). Semua aktivis mengaku pasrah.

“Aku lihat bahkan Koran kampus sekelas ‘Pistol’ saja, tak berani, Ton.”

“Jelaslah ‘Pistol’ tu Koran apaan,pro LEM gitu. Lihat kantornya saja satu gedung dengan LEM. Katanya aspiratif, kritis. Jangan-jangan pemimpin redaksinya juga anak Immunisasi.” Sambut Sulton dengan kritisnya dan semangat menggebu-gebu.

“Tahu sama tahu lah, birokrasi sudah dikuasai tinggal apapun jadi. Mahasiswa sekarang itu bodoh, kolot, tak tahu bahwasannya mereka dibohongi dan ditipu. Politisasi pendidikan, namanya. Lembaga pendidikan yang harusnya bernuansa akademis, intelektual harus tercampur dengan poltik kotor mereka. Mahasiswa pun jadi susah mau mengembangkan potensinya di bidang organisasi. Masuk LEM aja harus ikut Immunisasi kan. Jika tidak ya dikucilkan.”

Aku dahulu anak LEM, kemudian keluar karena kebejatan mereka yang ditutup-tutupi. Ya, karena sama-sama punya kepentingan dan saling memegang rahasia. Jika dibuka satu, maka terbuka semua. Dan terlihatlah di mata masyarakat, hal-hal yang baik-baik saja. Bahwa mereka seorang pemeluk agama yang taat. Bahwa mereka, pembela masyarakat , bangsa dan Negara.Tetapi dibaliknya, isu-isu yang diangkat dalam unjuk rasa di bundaran gladak itu sesungguhnya sudah disetir dan didramatisir untuk kepentingan politik. Hanya terucap di mulut dan penampilan.

Kadang aku pun meringis dalam hati. Mahasiwa yang benar-benar suci itu sulit dicari. Di kampusku saat ini. Di kota dimana masyarakatnya dari berbagai latar belakang agama, dari yang fanatik, radikal, sampai agama KTP pun berbaur jadi satu. Tren mahasiswa sekarang memang sudah berubah. Dahulu jilbab jarang digunakan, bahkan pernah sempat dilarang oleh pemerintah orde baru. Tetapi sekarang, mahasiswa dengan bebas menggunakan pakaian jenis apapun. Jilbab pun panjang-panjang dari menutupi dada hingga menjulur kebawah menyusuri tanah. Mukanya ditutup dengan cadar pula. Ada juga yang sampai yang kuliah dengan rok mini sekalipun. Baju daster, baby doll, saja dipakai waktu kuliah. Semua sama, yang dipentingkan nafsu dan cintanya sesama manusia. Itulah tren, mode, selalu berkembang sesuai kemajuan jaman.

Aku ingat seorang profesorku, ProfJoyonoto Mangkukali, Ph.D bercerita kepada mahasiswanya di saat kuliah psikologi kepribadian. Ketika itu, beliau menceritakan tentang suasana di Jepang yang masyarakatnya hidup harmonis tanpa perselisihan antar agama seperti di Indonesia. Karena saling terbuka dan jelas mengatakan kepada orang lain tentang keyakinan yang dianutnya. Apakah seorang kristiani, muslim, buddhis, sinto, bahkan atheis sekalipun. Jika seorang yang bertuhan katakanlah dan lakukan ibadah dengan taat. Tetapi jika tak percaya pada Tuhan, katakan dengan jelas. Aku Atheis.

****

Sebenarnya manusia menikah ataupun tidak itu sama saja. Pernikahan bak upacara setiap hari senin di sekolah ditambah perayaan besar-besaran. Uang dihambur-hamburkan hingga bermiliar-miliar dalam satu malam saja. Hanya untuk mengejar kenangan: status sosial tinggi dimata masyarakat. Padahal intinya Cuma lima menit : ijab Kabul. Orang-orang Immunisasi itu juga ngebet nikah selepas kuliah. Alasannya: biar tidak zina.

Aku dalam perjalanan kereta api menuju kotaku. Hendak menyambangi kedua orang tuaku, dan kedua anakku. Sejenak mengasingkan diri dari penatnya aktifitas kuliah. Aku membuka telepon genggamku, masuk ke program opera mini. Di status facebook kulihat, foto-foto berjejeran. Manusia manis dan cantik, imut-imut dan segalanya yang mengungkapkan rasa indah. Tuhan memang menciptakan manusia berbeda-beda. Ada yang menutupi rambutnya dengan kain (disebut jilbab), ada yang tak perlu ditutupi. Karena kain penutup rambut itu justru merusak keindahan. Itu hak asasi manusia, emansipasi manusia. Apalagi kain penutup rambut dan seluruh itu cukup efektif melindungi kulit dari sengatan sinar matahari yang menyebabkan kulit hitam dan kanker kulit. Syari’at itu masalah belakangan, jika belum siap tak perlu dipaksa dan didoktrin. HAM!

Aku ingat tentang Yumi, mantan istriku. Dia begitu menghargai arti kebebasan dan kejujuran. Dahulu dia menggunakan jilbab, menutupi seluruh auratnya. Orang tuanya dahulu kiai haji ternama di kampung, sebelum meninggal dan bangkrut. Seorang tradisionalis yang punya koleksi banyak istri, jelas sekali menyuruhnya begitu. Ketika dia paham bahwa perilakunya begitu terbatasi dengan jilbab, islam pun rahmatan lil ‘alamin, fleksibel, dan atas pemahaman tertentu dari diskusinya dengan orang-orang islam liberal, jilbab panjang lebar hitamnya dengan cadar hanya digunakan di dalam kampus. Orang-orang tak akan mengenalinya. Yumi itu seorang aktivis Imunisasi.

Aku sampai dirumah. Kulihat kedua orangtua ku bertengkar hebat dengan Yumi.

“Yumi? Yum….”

Dia menangis, aku tak mampu mengejarnya. Orang tuaku tersungkur lemas tak berdaya. Mobil Mercedes benz yang membawanya pergi.Aku tak habis pikir apa yang dia lakukan. Setahun yang lalu dia berkata padaku:

“Aku tidak mencintaimu, mas. Bawalah anak kita bersamamu. Aku tak kuat merawatnya.” Tetapi baru saja dia mengambil anakku yang pertama. Aku duduk. Ibuku mendekatiku dan menyerahkan sepucuk surat dengan amplop bergambar pohon kelapa.

Di bawah pohon kelapa, di mana kita berdua dibai’at untuk setia bersama. Di bawah pohon kelapa, ketika ku baca surat ini untuk terakhir kali darimu. Aku mengetahui suatu kebenaran. Di bawah pohon kelapa, akan selalu jadi saksi bersama gemuruh ombak pantai pasir putih ini.

“Maaf mas, dia bukan anak kamu.”

*END*

NB : . Ihdinash sirathal mustaqim…

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash, 28:77)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline