Dulu saya tak menyukai pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT), saya tak ingin menjadi IRT dan tak ingin disebut IRT. Saya selalu berpikir bahwa IRT itu gak keren, gak bekerja, dan gak berpenghasilan. Selain itu menjadi IRT berarti tidak produktif dan tidak bisa berkarya.
Setelah menikah, saya bekerja dengan mendirikan bimbel di rumah. Sebelum menikah pun saya sudah mendirikan bimbel, hanya saja lokasinya di rumah saya. Oh ya, bekerja dan mendirikan bimbel ini bukan karena tak ada pilihan. Tapi saya memang ingin mendirikan usaha sendiri.
Sesampainya di kota suami, saya mendapat tawaran pekerjaan dari kenalan-kenalan saya. Ada pekerjaan yang saya ambil karena tidak terlalu padat, namun akhirnya saya batalkan karena hamil dan sakit parah. Setelah melahirkan, saya memutuskan untuk mengasuh anak saya sendiri.
Saat itu lah saya mulai merasakan krisis identitas. Seringkali orang bertanya apa pekerjaan saya dan saya tak ingin mengakui bahwa saya IRT. Pernah saya dikira tidak kuliah dan beruntung mendapatkan suami seorang dosen. Bukan masalah kuliah atau tidaknya, tapi IRT memang seringkali dipandang sebelah mata dan dianggap tidak berpendidikan.
Kondisi ini berlangsung lama, kondisi ketika jiwa saya terus berteriak untuk mengaktualisasikan diri, namun juga dilema karena ingin mengasuh dan mendidik anak sendiri. Saya sering iri dengan teman yang bekerja di luar, saya kadang juga insecure dengan teman-teman.
Namun saya telaah lagi perasaan ini. Saya mulai mempertanyakan lagi keputusan saya. Bukankah saya sendiri yang memilih jalan ini? Jika memang ini yang saya pilih lantas kenapa saya selalu merendahkan diri saya. Kenapa saya justru selalu memandang rendah IRT?
Maka langkah paling awal yang saya lakukan adalah memantapkan diri atas pilihan ini. Kedua, mengubah mindset tentang IRT. Saya memilih kerja di rumah bukan karena tidak berpendidikan dan sibuk bergosip ria. Saya dengan sadar memilih pekerjaan itu karena ingin mengasuh serta mendidik anak saya sendiri. Menyaksikan momen terbaik serta memberikan perhatian dan kasih sayang selagi saya masih diberi kehidupan.
Saya sendiri adalah tipe orang yang gak pernah mau jauh dengan anak. Kondisi ini sangat berat bagi saya karena saya kehilangan ibu saat berusia 6 tahun. Rasa kehilangan ini membuat saya tak ingin meninggalkan anak saya barang sebentar.
Setelah dipikir-pikir, pekerjaan paling cocok untuk saya memang IRT. Saya bisa menghabiskan banyak waktu bersama anak. Saya juga tak perlu memikirkan banyak hal terkait pekerjaan yang mungkin bisa membuat saya tertekan.
Saya bisa belajar dan mengikuti berbagai kelas online sambil mengasuh anak. Saya bisa belajar parenting dengan ikut kelas, saya juga bisa membaca buku dengan leluasa. Pekerjaan IRT yang sering disepelekan membuat saya tertantang. Bahwa seorang IRT juga bisa berdaya dan mengaktualisasikan dirinya.