Lihat ke Halaman Asli

Mahdiya Az Zahra

lifetime learner

Kebergantungan pada Keberadaan

Diperbarui: 27 Maret 2017   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad

Pembahasan ontologi adalah pembahasan tentang wujud (keberadaan). Wujud sebagaimana yang telah sering disebutkan adalah ada. Ada bersifat mandiri karena segala sesuatu di alam ini ada, ada merupakan realitas objektif yang keberadaannya bisa dibuktikan secara ilmiah dan empiris. Dan tidak mungkin segala sesuatu itu tidak ada karena tidak ada sendiri merupakan konsep dan tidak memiliki realitas di alam. Kita tidak bisa menunjuk tidak ada di alam. Maka wujud itu sendiri adalah absolut, karena tidak ada yang bisa membantah keberadaannya.

Segala sesuatu di alam ini adalah wujud (ada). Bintang, bulan, matahari, hewan, tumbuhan dan manusia sendiri adalah wujud (ada). Keberadaan kita di alam ini tentu dapat kita buktikan secara ilmiah, maka manusia adalah jelas adanya. Dan ada itu yang kemudian kita indra dan kita persepsi dalam suatu apa (mahiyah). Wujud yang terikat pada mahiyah disebut dengan maujud. Maka segala sesuatu di alam ini yang ada adalah maujud karena segala sesuatu ini terikat pada mahiyah.  Dan di dalam kemaujudannya terdapat wujud yang menjadi dasar dari sesuatu itu. Tanpa wujud, maka tak akan ada mahiyah, dan tak akan ada maujud. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu di alam ini bergantung, yaitu bergantung pada wujud (ada).

Jika dianalogikan wujud itu seperti lautan tanah liat. Segala sesuatu di lautan itu adalah tanah liat. Sekilas, tanah liat adalah sesuatu yang tidak memiliki bentuk, tanah liat adalah tanah liat itu sendiri. Kemudian tanah liat dapat dibentuk menjadi sesuatu, seperti kuali, sendok, gelas, patung, meja, kursi. Maka tanah liat itu kini kita sebut melalui keApaannya yaitu kuali, sendok, gelas, dsb. Kita tidak lagi menyebut sesuatu itu sebagai tanah liat melainkan keApaannya. Namun di dalam sesuatu itu sendiri, misal kuali terdapat tanah liat sebagai unsur penyusun materinya, dan karena fungsinya kita sebut dengan kuali untuk membedakan tanah liat yang satu dengan tanah liat yang lainnya (sendok, gelas, dsb). Dengan demikian keberadaan kuali, sendok, gelas tersebut bergantung pada tanah liat, karena tanpa tanah liat kuali, sendok dan gelas tidak akan ada.

Maka begitu juga dengan manusia, hewan, tumbuhan, dsb yang merupakan pembentukan dari wujud (ada). Disebut manusia untuk membedakan dengan wujud (hewan, tumbuhan, matahari) yang lain berdasarkan bentuk yang dimiliki.  Pertanyaan yang muncul kemudian siapakah yang membentuk segala maujud-maujud ini?

Maka kita akan katakan bahwa ada yang menggerakkan wujud (ada) menjadi sesuatu yang memiliki bentuk. Sesungguhnya kita manusia ini berasal dari wujud itu sendiri namun seakan-akan kita terpisah karena kita memiliki mahiyah. Padahal kita sendiri adalah bagian dari wujud itu sendiri yang mana sebelum memiliki mahiyah sebagai manusia kita adalah wujud. Meskipun kini kita memiliki mahiyah bukan berarti kita terpisah karena kita berasal dari wujud yang sama, kita pun memiliki sifat-sifat yang sama. Sebagaimana kuali dari tanah liat yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan tanah liat diantaranya adalah rapuh. Maka ketika kuali dibanting ia akan pecah dan kembali menjadi asalnya yaitu tanah liat.

Dalam istilah teologi, wujud (wujud absolut) yang menggerakkan wujud itu sendiri sehingga memiliki esensi disebut dengan Tuhan. Maka dikatakan bahwa Tuhan itu meliputi segala sesuatu dan ada dimana-mana karena Tuhan lah yang menjadikan sebagian dirinya menjadi alam semesta ini termasuk manusia.

Kenapa dikatakan bergantung? Karena manusia dan alam semesta ini tidak akan terbentuk tanpa ada yang membentuk. Maka hubungan manusia dengan (wujud) Tuhan adalah hubungan kebergantungan dimana di dalam diri manusia itu sendiri terdapat (wujud) Tuhan dan tanpa Tuhan manusia tidak akan terlihat sebagai mahiyah manusia.

Jika kita meminjam bahasa Platon, kita katakan bahwa seringkali manusia lupa. Lupa bahwa manusia berasal dari Wujud yang dibentuk oleh Wujud absolut. Benar kata Platon bahwa ketika manusia turun ke alam material, manusia menjadi lupa. Sehingga ketika manusia yang awalnya adalah wujud diberi mahiyah, ia menjadi lupa. Maka kita perlu kembali mengingat agar kita bisa kembali pada asal kita yaitu wujud absolut. Salah satu cara agar kita dapat kembali adalah dengan jalan syariat, tarikat dan hakikat. Dimana dari perjalanannya, manusia akan mengalami tiga keadaan jiwa yaitu nafsul ammarah, nafsul lawwamah, dan nafsul muthmainnah. Ketika berada dalam keadaan nafsul ammarah, jiwa akan cenderung menyesali perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan dimasa lalu. Kemudian jiwa akan berhati-hati dalam bersikap dan berbuat serta waspada (nafsul lawwamah), maka hati akan merasakan ketentraman dan ketenangan (nafsul mutmainnah).

Wallahu’alam bi shawab

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline