Lihat ke Halaman Asli

Azzahra Zulfaniqandra

Mahasiswa - Universitas Negeri Malang

Pengaruh Childfree Jangka Panjang terhadap Perekonomian Indonesia

Diperbarui: 9 Maret 2023   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemajuan teknologi yang didukung oleh kemudahan informasi dan penggunaan sosial media membuat istilah childfree semakin marak di Indonesia. Apalagi dengan banyaknya wadah bagi masyarakat untuk membicarakan istilah childfree dan bagaimana pro dan kontra terhadap istilah ini. Termasuk bagaimana pengaruhnya bagi perkembangan perekonomian Indonesia di masa depan.

Saat ini, istilah childfree telah terjadi di negara-negara maju yang seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan dan China. Hal ini terjadi karena tingkat biaya hidup dan biaya pendidikan yang tinggi di masa yang akan datang serta tanggung jawab moral terhadap anak yang dianggap sulit oleh orang tua.Terjadinya fenomena ini membuat pemerintah negara-negara tersebut membuat kebijakan baru terkait pemberian dana maupun memperbolehkan mempunyai anak lebih dari satu seperti yang terjadi di negara cina.

Tercatat pada Badan Pusat Statistik, TFR (Total Fertility Rate) di Indonesia turun mencapai 2,15 yang sebelumnya 3,10 dan selama periode 1990-2022 angka kelahiran Indonesia mengalami penurunan 30,64%. Penururunan ini merupakan hasil dari kampanye oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) program KB "Dua anak cukup" atau "Dua anak lebih sehat". Meskipun Indonesia dihadapi oleh bonus demografi, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menghadapi kurangnya produktivitas dengan kehadiran istilah childfree yang sudah sangat umum terjadi di Jepang, Korea Selatan, China dan Amerika Serikat.

Adapun dampak-dampak yang terjadi jika childfree terjadi di Indonesia :

  • Jumlah usia produktif di masa depan

Sama halnya dengan yang terjadi di negara Jepang dan China, diperkirakan Indonesia akan mengalami kurangnya usia produktif pada 40-50 tahun mendatang. Kurangnya usia produktif berdampak pada masalah ketenagakerjaan dan menambah pengeluaran negara untuk membiayai penduduk usia tua. Selain itu, tingginya harga kebutuhan, pendidikan, dan tanggung jawab moral terhadap anak membuat para orang tua memutuskan untuk tidak mempunyai anak.

Kurangnya usia produktif juga akan mendorong rendahnya tingkat produktivitas suatu negara. Hal ini didorong oleh berkurangnya produksi jumlah barang dan jasa yang menyebabkan roda perputaran ekonomi berhenti. Apalagi pelaku ekonomi seperti RTK (Rumah Tangga Konsumen) ialah memiliki andil besar pada perekonomian suatu negara.

  • Pertumbuhan ekonomi daerah yang melambat

Ketika jumlah usia produktif berkurang, maka pertumbuhan di suatu negara dan daerah akan melambat. Hal ini terjadi karena output yang dihasilkan oleh usia produktif tidak banyak. Adapun penutupan gerai-gerai toko dan sekolah membuat kurangnya peningkatan pada sektor tersebut. Dampaknya akan membuat perekonomian suatu daerah akan sulit berkembang dan kurangnya inovasi-inovasi baru dalam perubahan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline