Lihat ke Halaman Asli

Transformasi Pendidikan: Suatu Tinjauan Filosofis

Diperbarui: 15 Desember 2023   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena yang terjadi di abad 21 ini, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan formal, pada saat orang tua mendaftarkan anaknya kesekolah yang dituju banyak yang lupa tentang niat dan tujuan tersebut. Untuk memantapkan niat, akan baik sekali jika orang tua dan penerima amanah mengikrarkan ijab-qobul. Faktanya, hal pertama yang ditanyakan orang tua kepada petugas PPDBadalah biaya dan persyaratan administrasi. Pihak sekolah menganggap peserta didik bukan sebagai amanah, melainkan sebagai pelanggan (stakeholders) menggunakan pendekatan konsep produsen-konsumen yang didominasi nilai-nilai duniawi. Dalam hal tujuan, jika memang bertujuanmencari ridho Allah maka cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan aturan Allah, cara-cara yang salah tidak akan menghasilkan anak yang soleh. 

Secara operasional, penyelenggaraan pendidikan di sekolah dituntut benar-benar mampu menanamkan nilai-nilai etika dan moral Islami. Semua aktivitas pendidikan di sekolah harus bernuansa mendidik, karena transformasi pendidikan bukan hanya tanggungjawab guru melainkan tanggungjawab semua orang. 

Di pihak lain, guru pun pada saat mengajar jangan melupakan aspek mendidik, karena mengajar adalah bagian dari proses mendidik.(Tafsir,A, 2011).Sampai di sini fenomena pendidikan mulai muncul, banyak orang tua yang merasa bahwa peranannya sebagai pendidik sudah dialihkan ke pihak sekolah, sehingga jika ada anak yang berperilaku tidak sesuai dengan norma pertama yang dipertanyakan adalah sekolah. Dari proses ini disadari atau tidak peran orang tua sebagai pendidik tereduksi oleh peran sistem yang berpotensi untuk saling mengandalkan. 

Berikutnya, tercipta kondisi yang semakin menjauhkanpemahaman orang terhadap hakikat pendidikan, antara lain jika terdapat penyelenggarapendidikan di sekolah yang lebih menitikberatkan pada pembelajaran. Perlu diakui bahwa semua kegiatan di sekolah dikemas dengan dalihpendidikan, tetapi secara operasional lebih fokus pada pembelajaran yang hasilnya prestasi akadamikberbentuk angka yang sangat berguna untuk menentukan lulusdan tidak lulus. 

Manakala sekolah kurang memuaskan dari segi pencapaian hasil belajar dengan simbol angka, sebagian orang tua menambah jalur pembelajaran bagi anaknya dengan mengikuti kursus, bimbingan belajar, atau menjadi pelanggan "Ruang Guru". 

Dari fenomena ini muncul topik utamasebagaibahan diskusi publik, yaitu biaya dan teknologi sebagai pendukung pembelajaran. Benar, pembelajaran bertujuan untuk mentransfer pengetahuan yang dapat dibantu dengan teknologi, tetapi ada yang tidak bisa tergantikan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kasih sayang, silaturahmi, perhatian, penghargaan, toleransi, simpati, empati yang dikolaborasi dengan proses penanaman nilai-nilaimoral,etika, dan estetika melalui keteladanan, pembiasaan, dan motivasi. 

Kondisi paling mutakhir, di masa pandemi covid-19 ini semua aktivitas penyelenggaraan pendidikan formal di sekolahyang sudah dirancang sedemikian rupa, tereduksi menjadi "study fromhome" sehingga makna pendidikan semakin kerdil tetapi dalam praktek melibatkan banyak pihak dan melahirkan isu besar, bersamaan dengan itu teknologi tampil sebagai panglima. Dampak dari kondisi ini, semua pihak seakan lupa akan hakikat pendidikan yang hakiki, karena nalar disibukan oleh realita yang cukup menguras energi tentang jaringan internet,Wi-fi, sinyal, handphon android, kuota internet, dan tekanan psikologis. 

Dengan bantuan ICT yang canggihdan media massayang beragamkeluhan siswa, orang tua siswa, pendidik, dan pemerhati pendidikan bermunculan ke permukaan serta menjadi topik actual untuk dibahas oleh siapa saja dan di mana saja.Bahkan ada yang berani mengangkat isu pendidikan di masa covid-19 ini sebagai bahan lelucon, sehingga pemahaman orang terhadap hakikat pendidikan semakin kabur.

Terdapat satu hal yang penting untuk digarisbawahi, bahwa situasi seperti ini akan mereduksi tujuan pendidikan yang ideal berbasis wahyu, karena unsur-unsur pendukung pendidikan seolah tidak terkendali. Sementara itu, transformasi pendidikan akan terus berjalan tanpa disadari, karena pada hakikatnya pendidikan itu adalah proses transformasi yang universal komprehensif dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, manakala para peserta didik setiap hari mendengar, melihat, mengalami, dan merasakan suasanalingkungan hidup yang penuh dengan keluhan, kekhawatiran, ketakutan, kebingungan, ketidakpastian, dan informasi bernuansahoaxdan dagelan maka itu pula yang tertanam dalam jiwa peserta didik secara tidak disadari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline