Aliran Mu'tazilah merupakan kelompok teologi pertama yang memperkenalkan metode filsafat. Hasil pemikirannya mendalam dan filosofis. Mereka banyak menggunakan akal sehat ketika membahas persoalan-persoalan teologis, itulah sebabnya mereka dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Secara etimologis, mutazilah berasal dari kata i'tazala yang berarti "memisahkan" atau "memisahkan", yang juga berarti "menjauhkan" atau "menjauhkan". 'Ali Sami al-Nashshar menemukan bahwa nama mu'tazilah muncul karena adanya konflik politik dalam Islam, khususnya antara 'Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, namun nama tersebut tidak diterapkan pada kelompok tertentu.
sejarah Munculnya Aliran Mu'tazilah dan Tokoh-tokoh Mu'tazilahSecara historis, munculnya aliran Mu'tazilah bermula pada peristiwa di kota Bashrah, Iraq pada abad ke 2 Hijriyah (105-110 H). Tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya ialah seorang penduduk Bashrah mantan murid Hasan al-Basri yang bernama Washil bin 'Atha. Dimana kala itu Wasil bin 'Atha berpendapat bahwa jika seorang Muslim melakukan dosa besar maka ia berada di posisi tengah, yaitu antara kafir dan mukmin. Sedangkan Imam Hasan al-Bashri berpendapat apabila mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.
Perbedaan pendapat antara guru dan murid tersebut berujung pada keluarnya Washil dari kegiatan halaqah di masjid. Hasan al-Basri menyebut Washil bin 'Atha i'tizal (mengasingkan diri) dari barisannya. Sejak itu Washil mulai membentuk serta menyebarkan doktrin Mu'tazilah hingga berhasil mengumpulkan pengikut. Aliran Mu'tazilah pun mulai berkembang dengan membahas persoalan-persoalan ilmu kalam lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada yang dibahas aliran-aliran sebelumnya. Dimana ajaran Mu'tazilah lebih mendahulukan akal rasional sebagai kata pemutus dalam segala hal. Apabila syariat bertentangan dengan akal, maka syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.
Sebenarnya istilah mu'tazilah sudah pernah muncul satu abad sebelum munculnya aliran Mu'tazilah yang dipelopori oleh Washil bin 'Atha. Sebutan "mu'tazilah" ketika itu ditujukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata. Kemudian teori maju yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1969), menerangkan bahwa nama "mu'tazilah" dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut ikut campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi di zaman Utsman ibn Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari golongan yang sering bertikai. Al-Tabari kala itu menyebut bahwa mereka sewaktu Qais bin Sa'ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I'tazalat ila Khartiba). Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka "mu'tazilin". Jadi, istilah mu'tazilah sendiri sudah sudah dipakai sekitar 100 tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri terjadi.
Mu'tazilah digunakan hanya cara berpikir rasionalnya saja. Menjadikan pemikiran rasional di Indonesia semakin berkembang, terutama pada tingkat Perguruan Tinggi. Lebih kontrasnya, Mahasiswa diajarkan cara berfilsafat terhadap teologi Islam tanpa rasa takut. Tetapi, eksistensi aliran Mu'tazilah tidak pernah ditemukan pada organisasi apapun, terkhusus organisasi keagamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H