Resume Kuliah Umum Sosiologi
Hubungan Antar-Kelompok (Etnis, Ras, dan Agama)
Oleh: Bapak Ifdhal Kasim, ketua Komnas HAM
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan berbagai macam suku dan etnis yang berbeda-beda. Keragaman suku dan etnis itu; dengan kultur, tata cara hidup, dan budayanya masing-masing berpotensi untuk menimbulkan konflik antar-kelompok.
Menurut Bapak Ifdhal Kasim, konflik di zaman sekarang terbagi 2:
1.Konflik yang berdasarkan masalah kultural/etnis
2.Konflik yang berdasarkan keadaan politik dan ekonomi
Dua hal itu ditambah lagi dengan 3 karakter utama masyarakat Indonesia:
1.Mayoritas WNI beragama Islam
èKarena Islam adalah agama mayoritas, maka kebijakan pemerintah serta undang-undang dibuat sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat minoritas yang memeluk agama non-Islam seringkali menjadi korban ketimpangan kebijakan Pemerintah, padahal harusnya Pemerintah bisa mengakomodir kebutuhan masing-masing agama resmi yang berbeda satu sama lain.
2.Mayoritas etnis yang dominan: Jawa
èMayoritas etnis yang dominan secara tidak langsung ‘menguasai’ kultur umum Indonesia. Etnis lain seperti Minang, Madura, Papua dan lain-lain terpaksa harus menyesuaikan kultur mereka dengan etnis yang mayoritas agar dapat diterima di masyarakat.
3.Hubungan dan budaya dari masyarakat yang dominan mempengaruhi etnis lain dalam masyarakat.
Letak geografis Indonesia sangat mempengaruhi interaksi antar-kelompok. Tidak hanya secara makro (interaksi antar-etnis), masalah juga muncul secara mikro (interaksi antar-suku yang berada dalam pulau/wilayah yang berdekatan). Selalu ada sub-kultur sub-kultur yang tumbuh dalam setiap kelompok masyarakat. Keberagaman suku, etnis, budaya, dan lain-lain memang membentuk Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan dengan karakteristik yang unik namun juga berpotensi menimbulkan konflik antar-suku yang dapat meledak kapan saja, karena masalah suku adalah salah satu masalah yang paling sensitif di Indonesia.
Sumber-sumber Konflik Antar-Etnis
1.Ketimpangan Ekonomi
èKonflik Ambon-Maluku. Mudah terjadi karena sudah ada trigger dalam masyarakat Ambon dan Maluku, yaitu ketimpangan struktur sosial yang ada sejak zaman kolonial (kecemburuan sosial). Kebanyakan yang duduk dalam pemerintahan adalah etnis Ambon yang Kristen sedangkan etnis Maluku yang Islam tidak. Terjadi perebutan sumber-sumber kekuasaan karena sarjana Muslim semakin bertambah.
2.Perbedaan Agama Antar Golongan-golongan Masyarakat yang Berkonflik
à Karena kecenderungan adanya sebagian golongan dari agama-agama yang ada bersifat ofensif dan agresif dalam menyebarkan agamanya sehingga mengganggu kebebasan beragama bagi agama lain.
3.Adanya Stigmatisasi Antara Kelompok Pendatang dengan Masyarakat Asli
èClash antar-karakter dari masing-masing etnis. Contoh kasusnya adalah kasus kerusuhan di Sambas antara etnis Madura dan suku Dayak pada tahun 1998. Awal mulanya sepele, hanya karena seorang Madura merayu pacar orang Dayak dalam suatu acara pasar malam ditambah dengan penyebaran info yang salah serta adanya provokasi dari berbagai pihak, akhirnya terjadi penyerangan terhadap wilayah domisili Madura. Sebenarnya hal ini juga dipacu oleh ketidaksukaan suku Dayak (masyarakat asli) terhadap orang-orang Madura (kaum pendatang). Sifat orang Madura dianggap terlalu kasar dan menyinggung mereka, jadi konflik ini hanyalah puncak pemicu dari alasan sesungguhnya, yaitu perasaan sentimen terhadap kaum pendatang oleh masyarakat asli setempat.
4.Kebijakan-kebijakan Pemerintah
èKebanyakan kebijakan-kebijakan Pemerintah hanya menguntungkan satu kelompok masyarakat yang dominan. Jika dibandingkan dengan Zaman Orde Baru, konflik etnis yang terjadi pada masa Reformasi ini cenderung lebih memprihatinkan karena angkanya terus meningkat akibat sistem demokrasi yang longgar. Pada zaman Orde Baru, konflik etnis lebih bisa ditekan karena sistem pemerintahan yang militan.
Bagaimana Negara Mengatasi Konflik Antar-Etnis?
Sejauh ini, upaya Negara mengatasi konflik antar-etnis adalah melalui:
1.Pemberlakuan Efektivitas Hukum
èAdanya hukum pidana bagi pihak-pihak yang menyebarkan kebencian terhadap kelompok etnis atau agama lain. Hukum ini sudah berjalan, namun belum terlihat bukti signifikannya karena biasanya masalah antar-etnis tidak terekspos.
èAdanya UUD no. 1 tahun 1967 tentang Penodaan Agama
Untuk merekayasa dan mengurangi pengurangan konflik yang berbasis agama. Seperti yang kita tahu, selain etnis dan ras, agama juga merupakan isu sensitif dalam masyarakat Indonesia. Jika ada dua atau lebih golongan agama yang saling bermasalah satu sama lain, maka hal itu dapat mengancam keamanan negara karena orang-orang fanatik rela melakukan apapun untuk membela agama mereka.
2.Membangun/Membuat Program-program Toleransi Beragama
èProgram-program ini kebanyakan bersifat diam-diam, dalam artian tidak ada sorotan publik mengenai program-program ini. Utusan Negara akan mengajak komunitas-komunitas etnis, ras, dan agama untuk saling berdialog dan memberikan penyuluhan tentang pentingnya toleransi. Bersifat abstrak dan susah dilihat.
3.Mencoba Mengurangi Tingkat Ketimpangan Sosial di Masyarakat
èTerutama memperbaiki ketimpangan ekonomi, karena tingginya tingkat kemiskinan dalam masyarakat dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu.
èMengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mempermudah akses masyarakat miskin untuk mengeksplorasi potensi mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai pengalihan karena jika seseorang menganggur, maka potensi mereka untuk diprovokasi dan menimbulkan konflik akan lebih besar ketimbang jika mereka bekerja.
Hal yang perlu diperhatikan disini adalah, 3 poin diatas tadi merupakan gambaran ideal upaya Negara dalam mengurangi tingkat konflik antar-kelompok. Pada kenyataannya, program-program rancangan Negara juga memiliki kecacatan tersendiri, antara lain:
1.Pempres no. 1 tahun 1967 tentang pencegahan penyesatan oleh kelompok-kelompok agama mengalami kegagalan. Peraturan ini menjadi dasar bagi masyarakat Muslim untuk membubarkan Ahmadiyah (yang berujung pada tindak anarkis dari golongan yang kontra-Ahmadiyah). Peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah konflik malah menjadi pemicu konflik.
2.Aturan Pendirian Rumah Ibadah yang sudah dikoreksi tetap saja menimbulkan konflik karena adanya kesulitan bagi pemeluk agama non-Islam untuk mendirikan rumah ibadah bagi mereka, khususnya di pemukiman yang mayoritas beragama Islam.
Jika ingin mendirikan gereja/kelenteng harus mendapat persetujuan (minimal 100 tanda tangan) dari warga setempat, namun jika ada golongan yang mau mendirikan Masjid, peraturan tersebut tidak berlaku. Terlihat jelas adanya ketimpangan disini. Masyarakat non-Muslim harus berjuang keras menghadapi karakter masyarakat yang sulit menerima pendirian rumah ibadah selain rumah ibadah Islam, belum lagi adanya resiko mereka dimusuhi akibat pendirian rumah ibadah agama mereka.
“Elemen penting dari kebebasan beragama adalah keyakinan dan hal itu tidak dapat diintervensi oleh negara.” – Ifdhal Kasim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H