Lihat ke Halaman Asli

Romantika Saya dan Puisi

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keahlian menulis puisi, bagi saya, adalah sesuatu yang menakjubkan. Saya selalu berhasil dibuat kagum oleh setiap puisi yang saya baca; tak peduli seabsurd apapun puisi itu. Keahlian menulis puisi adalah sesuatu yang spesial dan mempunyai keunikan tersendir dibanding ‘sepupu-sepupu’nya yang lain: seni menulis cerpen, novel, dan lain-lain.

Menulis puisi tidak hanya membutuhkan penguasaan terhadap berbagai diksi bermutu tetapi juga kreativitas untuk meramu diksi-diksi indah tersebut; merangkainya menjadi satu bait penuh makna yang menggugah pembacanya.

Seorang penyair dituntut untuk mendeskripsikan sesuatu sesingkat mungkin, karena bagi saya, puisi yang ideal adalah puisi yang kalimatnya singkat namun tetap penuh makna. Pengecualian ini hanya berlaku pada Chairil Anwar, Kahlil Gibran, dan Rabindranath Tagore. Menurut saya, hanya 3 orang itu yang mampu menulis puisi panjang tanpa kehilangan rasa.

Buku kumpulan puisi yang pertama kali saya baca adalah Aku karangan Chairil Anwar. Maklum, sebagai anak SD, saya ikut terseret dengan trend sekitar yang ketika itu mendadak gila puisi akibat pengaruh film Ada Apa Dengan Cinta.

Saya melahap selembar demi selembar buku usang tersebut. Saya tidak begitu mengerti maknanya, namun saya suka sekali. Saya menemukan kejujuran dan keberanian terselip di kalimat-kalimat yang agak sembarangan itu. Setahun kemudian, saya dihadiahi Gitanjali-nya Rabindranath Tagore. Rupanya kedua orangtua saya mengamati minat saya yang kala itu sangat menggebu terhadap dunia puisi. Untuk buku Gitanjali, saya tak melahapnya sampai habis karena saya keburu bosan. Bagi otak anak SD saya waktu itu, Gitanjali seperti sebuah buku cerita... dengan diksi yang terlalu berbelit-belit.

Beranjak SMP, saya ingat betul kala itu Rieke Dyah Pitaloka sedang giat-giatnya berpuisi. Saya membaca salah satu karyanya secara kebetulan, lalu jatuh cinta. Buku Renungan Toilet-nya Rieke Dyah Pitaloka membuat saya harus rela antri 2 jam di Carrefour Lebak Bulus, membuat kedua orangtua saya jengkel setengah mati (namun hanya bisa pasrah) menghadapi keras kepala saya demi sebuah buku kumpulan puisi. Malamnya, saya menyodorkan buku itu pada kedua orangtua saya untuk ditulisi. Ini memang menjadi sebuah kebiasaan rutin bagi saya untuk meminta komentar kenang-kenangan pada orang yang membelikan buku tersebut untuk saya.

Bisa ditebak, komentar Ayah lebih berupa omelan ketimbang kata-kata bijak. Saya cemberut, namun dalam hati puas sekali karena bisa memiliki buku itu dan membawanya kemana-mana. Saya tergila-gila. Ratusan kali saya membolak-balik halamannya, mengutipnya dalam buku-buku catatan saya, dan secara tidak sengaja menggumamkan salah satu puisi Rieke ketika saya sedang melamun.

Rieke-lah yang mematangkan kecintaan saya pada puisi. Berkat Rieke, saya mulai berani menulis puisi. Buku tulis tebal yang saya beli khusus untuk menampung puisi-puisi saya terisi penuh dalam waktu beberapa bulan.

Menjelang SMA, kecintaan saya pada puisi tidak luntur namun saya mulai berhenti menulis puisi. Saya mulai menyadari bahwa cerpen dan novel adalah bidangyang lebih cocok saya tekuni karena saya sangat deskriptif. Saya senang mendeskripsikan sebuah barang dengan sangat detail, tak peduli berapa halaman habis hanya untuk deskripsi sepele. Saya mulai berhenti membeli buku-buku puisi, karena saya telah menemukan pengganti puisi-puisi tak berlagu yang biasa saya baca.

Peterpan, band yang kala itu baru naik daun, mencuri perhatian saya karena liriknya yang lugas, penuh makna, namun tidak lembek. Saya membeli kasetnya lalu merenungkan setiap bait lirik dalam albumnya, dan saya jatuh cinta kedua kali... pada puisi yang dimusikalisasi.

Saat ini, puisi masih menjadi satu kenangan yang manis ketika diputar lagi. Saya tak lagi sering menikmati puisi, tapi sesekali saya berhenti mendengarkan musikalisasi puisi band-band favorit saya dan mengeluarkan buku Renungan Toilet-nya Rieke Dyah Pitaloka yang mulai usang dimakan waktu.

Puisi, dimusikalisasi atau tidak, sama nikmatnya dengan secangkir kopi... dan selalu bikin ketagihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline