Perkara meme Setya Novanto yang sedang sakit akhir-akhir ini memang menjadi guyonan banyak orang di media sosial. Oleh sebab itu, sebagaimana yang diberitakan beberapa media akhir-akhir ini, pembuat meme Setya Novanto tersebut dilaporkan ke polisi dan dalam waktu singkat polisi menangkap pelaku pembuat dan penyebar meme tersebut.
Pelaku pembuat meme Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) itu dituntut dengan pasal Pasal 27 ayat 3 UU No 19 tahun 2016 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Dalam pasal 27 ayat 3 itu disebutkan bahwa melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pelaporan pembuat meme dirinya beberapa waktu lalu, oleh Setya Novanto (DPR RI) menimbulkan pertanyaan apakah tindakan tersebut merupakan sebuah bentuk pelajaran berdemokrasi di era media ini atau bahkan merupakan tindakan jemawa seorang penguasa. Jemawa dalam kasus ini seperti apa yang dimaksud dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kejemawaan adalah sikap keangkuhan atau kecongkakan seseorang.
Pada satu sisi, pelaporan pembuat meme dirinya ke polisi oleh Setya Novanto, merupakan pelajaran berdemokrasi dalam negara demokrasi ini. Dalam negara demokrasi pada dasarnya kebebasan berekspresi yang dimiliki setiap orang dibatasi oleh Hak Azazi Manusia (HAM) lainnya. Dalam konteks ini, pada satu sisi kita memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasi dan kritikan, tapi pada sisi berbeda orang lain juga memiliki hak untuk hidup tenang tanpa gangguan.
Atau pelajaran berdemokrasi dalam kasus ini juga terkait dengan sikap bahwa tindakan penghinaan/pencemaran nama baik, bisa disikapi dengan jalur hukum, oleh orang yang merasa namanya dicemarkan/dihina. Karena dalam negara demokrasi, hukum adalah panglima, maka wajar jika pencemaran nama baik diadili di depan hukum. Hal ini tentu lebih baik dari pada main hakim sendiri, contohnya orang yang merasa namanya dicemarkan atau merasa dia dihina meneror, menyiksa atau mungkin membunuh si pembuat meme.
Sementara itu tindakan melaporkan kasus pembuat meme ini ke polisi juga bisa disebut sebagai tindakan jemawa para penguasa. Mentang-mentang bisa mengendalikan aparat hukum, inginnya menghukum orang-orang yang mengkritiknya. Mentang-mentang berkuasa, tidak mau dikritik oleh rakyatnya. Penguasa dalam hal ini bisa disebut anti kritik, bahkan tidak mau menerima kritik-kritik yang sangat kecil sekalipun.
Secara sederhana kasus ini bagi masyarakat umum dapat dijadikan pelajaran bahwa kadangkala kreativitas atau cara menyampaikan aspirasi di media yang berlebihan bisa menimbulkan permasalahan hukum seperti kasus ini.
Sementara itu sikap melaporkan rakyat yang menyampaikan "aspirasi" terhadap pemimpin melalui meme tentu dipandang sikap berlebihan. Sebagian orang berpendapat, tidak perlu diambil hati cara-cara rakyat mengkritik pimpinan, toh, kekuasaan pimpinan/penguasa tak akan berkurang karena kritik yang sedikit kreatif itu.
Namun persoalannya, bagi Setya Novanto, meme yang dibuat itu adalah penghinaan/pencemaran nama baiknya. Dia memandang bahwa meme itu bukan kritik. Oleh sebab itu dia melaporkannya ke polisi.
Disinilah pangkal muasal persoalannya. Jauh-jauh hari pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11, tahun 2008 itu memang menuai banyak kritik. Pasal 27 UU ITE tersebut dinilai sangat subjektif, sehingga bisa ditafsirkan dengan berbagai hal oleh banyak orang. Bahasa kerennya, pasal tersebut adalah pasal karet yang multitafsir sehingga bisa menjerat orang-orang yang "kreatif" di media.