Pada hari aku kehilanganmu, aku rasa hidupku telah berakhir. Yang tinggal hanya raga, yang tertinggal hanya jasad. Nyawaku telah kau bawa pergi dikala senja terakhir kita bertemu. Disaat waktu terakhir kulihat lambaian rambutmu. Disaat terakhir aku melihat senyum indah yang membunuhku.
"Aku akan pergi!" katamu.
"Pergilah," jawabku dengan penuh dusta. Aku sesungguhnya tak berharap kau pergi. Aku ingin abadi bersamamu.
Pada senja terakhir kita bertemu, aku tidak membayangkan pahit masa depan yang akan kau lalui. Aku kira kau bahagia memilih jalan pahit di tikungan hubungan kita. Sayangnya, aku tak kuasa membaca masa depan. Dalam pandanganku hanya cemburu dan dendam. Cemburu karena kau akan dimilikinya, dendam karena kehidupan tidak mengizinkan kita untuk bersama.
"Cinta kadang tak cukup untuk menjadi modal dalam setiap helaan nafas kita," katamu, pahit.
Aku sadar, sebagai laki-laki kau menyesali diriku yang tak kuasa memperjuangkan cinta kita. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika lelaki dari kota itu membawamu dengan imbalan lunasnya segala hutang dan beban hidup keluargamu.
"Jangan kau kira aku bahagia disana," kabarmu suatu ketika. Melalui angin, melalui burung kau kabarkan bahwa kau sungguh tak bahagia. Menderita.
Malam pertama ragamu teriris-iris sakit bak disayat sembilu. Selanjutnya neraka diciptakannya untukmu.
"Kota memang penuh laki-laki biadab," bisikmu.
"Aku dijual ke hotel mewah, berbagai perempuan dengan bermacam warna kulit dipajang seperti binatang. Laki-laki hidung belang, memilih mereka seperti memilih barang-barang di etelase toko pakaian," kabar buruk dari semua kabar tentang hubungan kita.
"Tapi ini lebih kejam, pakaian di pilih dari etelase toko, kemudian mereka bawa pulang. Setidaknya untuk beberapa saat mereka rawat dan mereka banggakan," ujarmu.