Lihat ke Halaman Asli

Azwar Abidin

A humble, yet open-minded wordsmith.

Argumentasi Tak Hanya Soal Bukti, Perlu Saling Memahami

Diperbarui: 8 Maret 2021   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lisa-Blue / E+ via Getty Images 

Manusia selalu menuntut kepastian. Di sisi lain, kehidupan justru dipenuhi dengan ketidakpastian. Hari ini mendapat pujian, esok hari malah mendapat cacian. Teror ketidakpastian selalu berhasil mengusik hidup manusia dengan perasaan tak nyaman. Oleh sebab itu, pikiran cenderung memaku ekspektasi manusia pada harapan bahwa semuanya harus berjalan sebagaimana mestinya.

Nah, celah itulah yang menyebabkan pikiran manusia rentan pada bentuk argumentasi yang asal-asalan. Ketika sesuatu terjadi di luar keinginan atau harapan, pikiran merespon dengan; "Ah, hal itu tidak mungkin terjadi!" Kegagalan pikiran membangun skenario di luar ekspektasi ini yang menjebak manusia pada suatu jenis sesat pikir yang cukup populer bernama Beban Tuntutan Pembuktian (Burden of Proof).

Untuk membangun sebuah keyakinan baru di atas keyakinan yang lama akibat munculnya kasus baru, pikiran menuntut bukti. Masalahnya, meski bukti telah dihadirkan, pikiran belum tentu bisa menerima begitu saja. Sebab pikiran mesti terlebih dahulu menundukkan ketetapan hati dan hal itu bukan perkara mudah. Di ruang publik, terutama media sosial, model argumentasi yang dilandasi sesat pikir ini cukup populer.

Untuk menekankan konteks, saya contohkan bagaimana model argumentasi ini sering bertubrukan dengan kognisi sosial tentang konsep "reputasi." Taruhlah seorang pejabat yang dikenal punya prestasi di bidang anti korupsi, dibuktikan lewat penghargaan yang dia terima. Pemberian penghargaan itu tentu melewati proses rumit dengan mekanisme ketat yang menjamin kredibilitas pemberinya. Keputusan itu didukung oleh rekam jejak prestasi yang mengundang kekaguman.

Tiba-tiba pejabat tersebut ditangkap karena masalah korupsi. Pemberitaan sangat ramai dengan liputan khusus dan saling balas komentar antara mereka yang pro dan kontra di media sosial. Secara umum, kita menangkap dua bentuk pernyataan diskursif antara dua kubu. Berikut kita urai dalam bentuk sederhana. Perlu dicatat bahwa penyederhanaan ini bertujuan ilustratif dan tidak untuk generalisasi apalagi membangun stereotip:

Kubu A: 

  1. Pak M punya reputasi yang bagus; 
  2. Orang bereputasi tak mungkin melakukan korupsi; 
  3. Oleh karena itu, berita tentang Pak M melakukan korupsi adalah tidak benar. 

Kubu B:

  1. Pak M adalah pejabat;
  2. Setiap pejabat rentan melakukan korupsi;
  3. Oleh karena itu, berita tentang Pak M melakukan korupsi pasti benar.

Argumentasi Kubu A bertumpu pada penolakan (denial). Keyakinan lama yakni reputasi dianggap tidak relevan dengan keyakinan baru yaitu perilaku koruptif. Meski bukti sudah dihadirkan yaitu berita dan diverifikasi oleh pihak otoritatif (semisal KPK atau Kepolisian), keyakinan lama belum dapat digantikan. Penolakan ini dialihkan lewat pembenaran seperti menyebarkan narasi pengalihan seperti prestasi dan rekam jejak.

Argumentasi Kubu B bertumpu pada prasangka (prejudice). Model argumentasi ini menyandarkan bukti bukan kepada sumber otoritatif tetapi kepada persepsi masyarakat luas. Bila dianggap lumrah, argumen ini hanya menghasilkan rumor dan berpotensi mendesak publik untuk memaksakan penghukuman oleh massa (trial by mass). Hal itu tentu tidak sehat bagi iklim penegakan hukum di negara kita.

Kedua model argumentasi tersebut, pada hakikatnya, sama-sama tidak mengindahkan pembuktian empiris dalam penalarannya. Model argumentasi pertama menafikan bukti yang disampaikan oleh lembaga kredibel. Sedangkan model argumentasi kedua mendahulukan stereotip sebagai landasan pembenaran ketimbang bukti yang sudah dirilis secara resmi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline