Sebelum sampai pada simpulan, ketika membaca suatu peristiwa, kita menimbang segala sesuatu yang kita yakini berdasarkan pengetahuan yang kita miliki. Pertimbangan itu akan menuntun kita memutuskan pada sisi mana kita akan berpihak. Namun untuk menilai posisi yang telah kita ambil, konsep moralitas yang kita anut punya peran yang lebih besar. Sebab simpulan logis yang berseberangan dengan patokan moral tidak akan membuat kita tenang.
Sebagai contoh, peristiwa yang sedang kita saksikan melalui bingkai jurnalistik baik oleh pewarta maupun warga saat ini; perlakuan rasial terhadap saudara(i) kita asal Papua, bahasan simbol agama, hingga pencemaran laut Indonesia. Pembacaan terhadap peristiwa-peristiwa tersebut melalui berbagai bentuk narasi akan menentukan sikap dan tanggapan kita atasnya. Dengan iklim demokrasi dan bantuan sosial media, hal itu tidak dapat dianggap remeh.
Faktanya, komentar dan opini yang kita sampaikan di ruang publik virtual mampu membentuk sebuah gerakan massa. Gerakan itu tidak hanya berpotensi menggiring penilaian oleh publik namun juga oleh pemerintah. Tentunya hal itu punya konsekuensi signifikan. Aksi protes di lapangan yang menjurus brutalisme kemudian berdampak kerugian dalam skala besar.
Hal itu dimulai dari simpulan masing-masing individu yang dipertemukan oleh ruang virtual. Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa simpulan logis mesti ditinjau dari patokan moral yang kita anut.
Tulisan ini berupaya menawarkan panduan literasi digital. Maksudnya, pendewasaan dalam bersikap mawas diri menggunakan hak kebebasan berekspresi dengan menyadari batasan-batasannya. Tujuannya agar komentar dan opini yang kita sampaikan di sosial media maupun kanal berita tidak menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, tiap simpulan yang akan kita tuliskan sebagai hasil pembacaan terhadap suatu peristiwa perlu kita pastikan terlebih dahulu benar atau salah secara morel.
Nah, kembali pada contoh-contoh yang disebutkan di paragraf kedua. Taruhlah kita menyimpulkan bahwa perlakuan rasial terhadap saudara(i) kita asal Papua tidak dapat dibenarkan. Begitu pun dengan mencerca simbol-simbol agama dan mencemari laut dengan plastik atau tumpahan minyak juga merupakan tindakan yang salah. Sekarang kita bertanya pada diri sendiri; bagaimana saya tahu kalau simpulan-simpulan itu dapat dibenarkan?
Secara umum, ketika berupaya menjawab pertanyaan itu, ada dua patokan moralitas yang kita acu. Pertama, kita meyakini bahwa secara intuitif ketika melakukan hal itu perasaan malu akan muncul; kita merasa segan atau bersalah. Tentunya, ini melibatkan nurani dan juga ingatan pengalaman; suara hati yang muncul saat itu terjadi. Kedua, kita meyakini bahwa secara prinsipiel ketika kita melakukan hal itu akan ada kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan atau ancaman bagi penghargaan terhadap manusia sebagai agen moral.
Diskusi Tentang Moralitas: David Hume dan Immanuel Kant
Untuk membahas dua patokan moralitas yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, saya memperhatikan pembacaan Thomas Dabay terhadap dilema moralitas antara David Hume dan Immanuel Kant. Untuk patokan moralitas pertama yang melibatkan intuisi, Hume menjelaskan bahwa hanya manusia yang punya kapasitas ini; menimbang apakah suatu peristiwa/ perilaku bisa dibenarkan atau tidak. Kapasitas ini Hume istilahkan dengan 'sentimen'.
Sentimen ini menghubungkan kita secara langsung dengan intuisi. Nampaknya, beberapa bentuk sentimen punya kandungan moralitas sendiri. Seperti di contoh sebelumnya, kita cenderung merasa malu atas perbuatan sendiri atau orang lain yang kita saksikan tatkala seseorang berlaku rasis terhadap sesamanya, mereka yang terlalu sibuk mengurusi agama orang lain, serta mereka yang merusak lingkungan dengan membuang sampah sembarangan.