Lihat ke Halaman Asli

Green Economy: Penjajahan Ekonomi Baru Pasca Rio +20?

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356082333785830335

[caption id="attachment_230769" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Rio+20 telah diselanggarakan di Brazil, tanggal 20 - 22 Juni 2012 digadang - gadang menjadi perhelatan yang mampu menjawab permasalahan lingkungan, ekonomi dan social. Tak kurang 130 kepala Pemerintahan dari pelbagai belahan dunia menghadirinya. Namun, pertanyaan besar menguak, sanggupkah pertemuan akbar 20 tahunan ini menjadi solusi persilihan antara kepentingan kehidupan Negara miskin vs kepentingan bisnis Negara maju?

Rio+20 sebagai jawaban?

20 tahun pasca diadakannya konfrensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tentang lingkungan hidup dan pembangunan tetap menyisakan pelbagai persoalan. Pelak, jumlah manusia yang kelaparan kini mencapai 1 milliar orang. Pertumbuhan ekonomi 2 digit tak mampu menjawab kelaparan bahkan merupakan akumulasi modal pada 10 % manusia saja, sisanya menjadi korban dari kerakusan ekonomi.

Pada aspek lain, yaitu lingkungan, global governance ekonomi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Keragaman hayati pertanian (agricultural biological diversity) telah mengalami erosi sangat parah, 90% spesies mengalami kepunahan. Erosi biodiversitas peternakan berkurang dengan laju 5% per tahun. Perluasan kerusakan hutan berlangsung jutaan hektar. Pemanasan global bahkan mengancam keberlanjutan kehidupan kaum tani karena musim tanam yang tak menentu dan ledakan populasi hama dimana - mana bahkan daya adaptasi tanaman tak sanggup mengatasi kenaikan kenaikan suhu 4 derajat celcius.

Banyak Pakar meragukan pertemuan Rio+20 akan menjadi solusi nyata permasalahan lingkungan, ekonomi dan social. Keraguan menguak kala mengupas tuntas tentang konsepGreen Economy. Green economy dianggap menjadi senjata ampuh menjembatani perpindahan modal dan transfer teknologi. Menariknya, Negara - Negara maju pendorong green economy justru sedang kalang kabut mengatasi kekacauan ekonomi internal.

Green economy : De-growth vs pro growth

Green Economy yang menjadi topic hangat pada perhelatan Rio+20 menjadi sorotan khusus ekonom kritis tanah air, salah satunya Dr. Hendro Sangkoyo (direktur Sekolah Demokratik Ekonomika). Hendro Sangkoyo berpendapat ekonom Indonesia memiliki pandangan yang gelap terhadap ekonomi hijau ini. Ekonom negeri ini terlalu mengindahkan kata berkelanjutan di dalam konsep Green economy tanpa menelaah lebih jauh bahwa konsep ini hanya melanggengkan kepentingan - kepentingan pebisnis besar. Ia juga menuding Pertumbuhan ekonomi yang menjadi parameter keberhasilan ekonomi ternyata tak sanggup menjeaskan secara rinci keadaan ekonomi yang di dalamnya penuh dengan masalah. Lebih jauh Tejo Pramono (staf La Via Campesina) berpendapat terdapat tiga point kritis dalam mazhab Green economy :

1. Green economy tak mampu menjawab penurunan emisi perubahan iklim dan merestorasi kesehatan lingkungan, akan tetapi men-genalisir prinsip "pemilik modal dapat melanjutkan polusi". Prinsip ini dilanjutkan melalui mekanisme Business as usual, TEBB, REDD dan REDD plus. Negara penghasil emisi diizinkan terus mencemari bumi asalkan memberi kompensasi iuran kepada Negara yang sanggup menurunkan emisi.

2. Mencari, meneliti, mengembangkan dan menerapkan bahan bakar nabati (biofuel). Berbagai bahan organic semacam algae, jagung, jarak pagar (j. curcas), jarak kepyar (ricinus komunis) dianggap mampu menekan penggunaan bahan bakar fosil. Padahal menurut Dr. Dwi Andreas Santosa (ahli Bioteknologi Tanah dan Lingkungan, IPB) dibutuhkan energy yang lebih besar untuk menghasilkan satu liter bahan bakar nabati. Sebut saja minyak jarak pagar, yang membutuhkan 1 - 1,5 Liter Solar untuk menggerakan mesin Presser penghasil 1 liter minyak jarak pagar. penggunaan bahan bakar nabati juga dituding tidak manusiawi sebab lebih mementingkan lahan untuk tanaman penghasil bahan bakar nabati bagi mesin dan kenderaan daripada tanaman pangan yang sanggup mengatasi kelaparan 1 milliar orang.

3. Green economy tak akan sanggup menekan ketimpangan Negara kaya dan Negara miskin. Semua mazhab ekonomi memang berpijak pada satu titik yakni mensejahterakan kehidupan manusia, begitu juga dengan semangat yang diusunggreen economy. Namun dalam konsep green economy tidak mengusung keadilan secara ekonomi dan sosal hanya berpijak pada keuntungan bisnis besar dan akumulasi capital semata.

Tananan baru Pertanian : Agroecology

Perdebatan panjang tentang solusi permasalahan lingkungan, ekonomi dan social tak bisa dilepas dari pertanian. Pertanian yang ekologis dijadikan dasar untuk menurunkan 40 % emisi gas rumah kaca. Hal inilah yang mendorong ahli pertanian kritis terus mengkampanyekan dan me-"massal"kan gerakan tani agroekologi. Berbagai success storytelah ditorehkan, sebut saja Kuba yang kini sudah menghasilkan pangan yang sehat (organik ) dengan cara agroekology, bahkan Negara yang diembargo Amerika Serikat dan sekutunya ini memiliki Indeks Pembangunan Manusia diatas Amerika Serikat. Agroekology merupakan system bertani yang menghendaki dan mewajibkan petani berdaulat atas pangan, tanah. Benih dan air.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline