Lihat ke Halaman Asli

Agroekologi: Kemerdekaan Kaum Tani

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pekik 65 tahun Indonesia Merdeka rasanya sunyi dan sepi. Apakah karena bertepatan dengan Ramadhan sehingga jauh dari hangar bingar acara seremonial atau memang kita merasa sunyi sendiri karena Pidato Kenegaraan Presiden menciptakan kesunyian itu? Wajar saja sunyi, karena Pidato kenegaraan kali ini tak menyinggung masalah 60 % penduduk Republik ini (petani).

Masalah petani ternyata belum dianggap penting oleh Presiden SBY. Padahal jika dicermati serius nasib petani sekarang tak ubahnya seperti masa penjajahan dahulu. Menggarap sawah dan ladang namun tak kunjung cukup untuk makan. Dan penulis menyebutnya sebagai Agrokolonial.

Agrokolonial

Proses Kolonialisasi saat ini sama dengan yang dilakukan VOC (Perusahaan dagang zaman Belanda) yakni melalui hasil pertanian. Namun, Agrokolonial sekarang tersistem dengan baik karena dukungan warga pribumi. Agrokolonial disetting dengan tiga hal. Pertama, Pendidikan Pertanian. Pendidikan Pertanian yang diajarkan di Perguruan Tinggi sekarang lebih condong kepada mazhab Agrobisnis. Mazhab Agrobisnis mengajar peserta didik untuk taklid buta atas monopoly perusahaan terhadap sektor hulu (baca : ladang-ladang pertanian) hingga sektor hilir (pasar hasil produksi pertanian).Mazhab ini juga cenderung mengampanyekan untuk menanam produk pertanianberorientasi pasar (market oriented) bukan kebutuhan local (local need). Jika Agrobisnisasi ini dibiarkan, kaum tani akan terpinggirkan. Pelaku pertanian akan berpindah dari petani kecil ke perusahaan besar semacam Monsanto, Potas dan Cargill. Lihat saja penelitian GRAIN (2008) yang menunjukan keuntung Cargill (USA) meningkat 69 % sebesar 3,951 miliar dolar,Monsanto 120 % sebesar 2,926 miliar dolar dan Potas Corp. (Canada) meningkat sebesar 164 % dengan keuntungan sebesar 4,963 miliar dolar ketika kelaparan sedang melanda dunia.

Kedua, Tekhnologi Pertanian. Sejak Green Revolusi tahun 1970-an petani dipaksa menanam secara intensif. Petani disodori paket – paket tehnologi yang tidak memandirikan kaum tani, sebut saja Benih GMO, Pupuk Pabrik dan Pestisida. Dan paket tekhnologi tersebut justru menghancurkan kearifan local kaum tani, Keragaman hanyati dan mengerus kesuburan lahan – lahan petani. Walhasil petani menggantungkan jadwal tanam atas ketersediaan benih pabrik, pupuk dan pestisida bukan kepada benih hasil tangkaran dan pupuk alam hasil olahan kaum tani.

Ketiga, akses lahan pertanian. Sejak disyahkannya Undang – Undang Penanaman modal nasib kaum tani semakin tidak jelas arahnya. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mendahulukan kepentingan Pengusaha kelas kakap. Kaum tani pun semakin susah mendapat akses – akses terhadap lahan. Perlawanan rakyat pun semakin massif misalnya tragedi berdarah akibat Konflik agraria seperti di Kontu, Muna Sulawesi Tenggara dan Awu, Lombok NTB. Bahkan salah satunya masih berlangsung yakni perjuangan kaum tani dan masyarakat adat di Rengas Sumatera Selatan untuk mendapat hak tanah mereka dari PTPN VII.

Agroekologi dan jalan kaum tani.

Secara konsepsional Agroekologi merupakan sistem pertanian yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi dalam merancang dan mengelola keberlanjutan keragaman hayati hingga ekosistem pertanian yang berkeadilan berbasis keluarga tani guna mewujudkan kedaultan pangan dan kedaulatan petani. Dalam konsepsi tersebut jelas tersirat bentuk – bentuk kemerdekaan kaum tani pertama, Pendidikan yang berpihak. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Serikat Petani Indonesia di Bogor, Jawa Barat para petani dididik untuk mengoptimalkan berlangsungnya proses interaksi dan sinergi antara komponen biologi hingga menyediakan mekanisme bagi sistem kesuburan tanah, produktifitas dan perlindungan tanaman. Petani dididik untuk menangkarkan benih dan membuat Seed Bank (bank benih) milik petani, mendirikan saung pupuk kompos dan direct selling yang diatur oleh Koperasi petani. Sistem agroekologi juga lebih mengedepankan local need guna menjamin kedaulatan pangan

Kedua, Tekhnologi madya. Dalam praktek Agroekologi petani dididik untuk mengembangkan agro ekosistem dengan meminimalisasi ketergantungan input eksternal berupa pupuk dan pestisida yang bersumber dari bahan kimia. Kaum tani diberikan pemahaman pupuk organik dan model bio-pestisida yang sudah menjadi pengetahuan lokal petani sehingga terbebas dari penjahan perusahaan benih, pupuk dan Pestisida.

Ketiga, Terwujudnya Reforma Agraria. Secara Praktek Agroekologi sejalan dengan prinsip reforma Agraria. Agroekologi juga mampu mengakselerasi penghapusan kelas buruh. Karena dengan Agroekologi kaum tani mampu mengerjakan setiap lini pertanian sehingga bisa bertransformasi menjadi Kaum tani yang mandiri secara ekonomi dan jauh dari praktek monopoli oleh satu pihak. Sebagaiman diatur dalam UUPA pasal 13 ayat 1-2.

Jalan kemerdekaan kaum tani dari penjajahan pertanian sudah jelas. Pertanyaannya adalah adakah iktikad dan niat baik kita untuk membuka dan memperlebar jalan itu guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline