Lihat ke Halaman Asli

Azuzan JG

Azuzan JG

"Anak Durhaka," Festival Teater yang Menggigit!

Diperbarui: 9 Februari 2022   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak Durhaka,

oleh : Azuzan JG*

Frasa “anak durhaka” sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Itu sudah jadi ungkapan umum untuk menyebut perilaku anak yang ingkar pada orang tuanya. Frasa itu berasal dari sastra lisan turun temurun bersemayam di tubuh kebudayaan masyarakat berbagai daerah di Nusantara. Kisah Malin Kundang di Sumatera Barat, kisah Sampuraga di Kalimantan dan Tapanuli Selatan, cerita asal muasal Pulau Simardan di Tanjung Balai Asahan, adalah sebagian dari begitu banyak legenda bertema anak durhaka.

Legenda Anak Durhaka mengandung ajaran moral bagi masyarakatnya. Si anak durhaka akhirnya mendapat hukuman, dikutuk ibunya lalu menjelma jadi batu, jadi kolam mendidih, pulau, binatang, atau benda-benda alam lainnya. Pesan moral legenda itu, agar si anak jangan sekali-kali ingkar pada ibu kandung yang melahirkannya.

Meski banyak orang tidak percaya pada kebenaran legenda, tetapi melalui transformasi teks dan analogi-analogi, kita bisa menemukan fenomena anak durhaka telah lama hadir dalam berbagai versi di kehidupan nyata.

Ini salah satunya:

Dalam negara demokrasi, wakil rakyat dipilih oleh rakyatnya. Selanjutnya wakil rakyat  memilih pemimpinnya. Rakyat ibarat ibu, wakil rakyat dan pemimpin itu adalah anaknya. Sekarang kita lihat, betapa banyak anak (wakil rakyat, pemimpin) yang telah ingkar pada ibunya. Kita intip sekelumit fakta: 17 orang Kepala Daerah di wilayah Sumut terjerat korupsi *1  
14 orang Wakil Rakyat ditangkap KPK *2

Kenyataan itu mengerikan. Akhir kisahnya pun hampir mirip dengan yang terjadi dalam legenda. Si anak dikutuk oleh ibunya (rakyat) lalu digerebek KPK dan akhirnya meringkuk di penjara.

Fenomena anak durhaka terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Anehnya, sudah sering terjadi dan diberitakan namun seperti tidak menimbulkan efek jera. Itu mungkin dianggap pelakunya hanya terjadi di sana, di alam legenda.

Persoalan kehidupan yang tidak bisa disampaikan lagi melalui lembaga-lembaga, bisa diungkapkan di pentas teater. Perilaku korupsi diungkapkan Nikolai Gogol di Rusia melalui drama satir “Inspektur Jenderal” 1836. Hipokrisi pejabat publik diungkapkan Ibsen di Norwegia dalam “Musuh Masyarakat” 1882.  Penyakit sosial itu sudah biasa diungkapkan melalui pentas teater di berbagai negara sebagai kontrol sosial dan terapi bagi masyarakatnya. Bila fungsi vital teater itu tidak berjalan, teater terjerembab menjadi alat hiburan belaka.

Sangat menyedihkan kenyataan di masa represif dulu, teater bertema masalah sosial dibungkam. Dipandang sebagai kegiatan berbahaya yang bisa menggoyahkan stabilitas negara. Masih segar dalam ingatan kita tentang pelarangan pentas teater Rendra dan Teater Koma. Pelarangan pentas teater di masa itu menampakkan wajah sesungguhnya dari penguasa. Alergi terhadap kritik. Kita bersyukur masa itu sudah lewat. Persoalan berikut, bagaimana menjadikan pentas teater itu ada dan bisa menjalankan fungsi vitalnya.

Melalui tafsir secara kreatif, tema anak durhaka bisa meluas tidak sebatas drama rumah tangga. Alam yang di rusak oleh manusia, korupsi, manipulasi data, penggusuran tanah, kesewenang-wenangan aparat negara, ketidakpatuhan individu dan masyarakat terhadap hukum dan norma-norma, bisa berhubungan dengan tema anak durhaka. Tinggal mentafsir personifikasi siapa ibu dan siapa anaknya. Semua terserah pada kreativitas dan keberanian si senimannya. Festival teater bertema Anak Durhaka ini mengajak masyarakat agar kembali menghayati nilai-nilai luhur kebudayaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline