Lihat ke Halaman Asli

Jawa Deli dari Zaman ke Zaman

Diperbarui: 16 Mei 2018   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibukanya perkebunan-perkebunan asing di kawasan Pantai Timur Sumatera pada pertengahan abad 19, menjadi awal kisah kehadiran orang-orang Jawa di Sumatera. Pertumbuhan perkebunan asing ini mendorong pemerintah kolonial belanda untuk menyikapi kebutuhan akan tenaga kerja, maka didatangkanlah tenaga kerja asal Pulau Jawa secara besar-besaran ke Sumatera pada akhir abad 19.

Para pekerja asal Jawa tersebut menyebrangi lautan dengan menggunakan moda transportasi kapal api. Perjalanan menggunakan kapal api pada masa itu tidaklah mudah, apalagi dengan perbekalan seadanya. Banyak yang jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia sebelum tiba ke tempat tujuan. Karenanya, ketika para pekerja itu tiba di Pelabuhan Belawan, mereka bersujud syukur seraya berikrar mengikat tali persaudaraan yang kuat yang dikenal sebagai "Sedulur Tunggal Sekapal".

Masyarakat Jawa yang hadir di perkebunan-perkebunan Sumatera khususnya di tanah deli, yang telah membaur dengan masyarakat tempatan kemudian mencipta suatu budaya baru. Salah satunya dapat dilihat dari kesenian ketoprak dor. Ketoprak Dor merupakan produk asimilasi kesenian yang tidak lagi 100 persen Jawa, ada campuran budaya Melayu yang kuat dalam kesenian ini.

Seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat jawa di sumatera ini terus bertumbuh menjadi kelompok masyarakat mayoritas di Sumatera Utara. Pada 10 Juli 1980 berdirilah sebuah paguyuban etnis jawa di sumatera utara yang diberi nama Pujakesuma ( Putera Jawa Kelahiran Sumatera ), dipelopori oleh sesepuh jawa H. Mas Soekardi bersama kawan-kawan beliau di Badan Koordinasi Kesenian Jawa ( BKKJ ). Didirikannya Organisasi Kemasyarakatan Pujakesuma bertujuan mensejahterakan masyarakat Jawa,menggali, membina dan mengembangkan kesenian, kebudayaan serta bekerjasama dengan organisasi sosial budaya lainnya dalam membina persatuan.

Pujakesuma yang sudah beberapa generasi hadir di Sumatera Utara, telah mencipta sebuah warna baru khas pujakesuma, seperti yang disampaikan salah seorang tokoh Pujakesuma bapak Suherdi pada sebuah Media: "Orang Jawa itu berbeda dengan Pujakesuma, Putera Jawa Kelahiran Sumatera. Pujakesuma malah tidak bisa berbicara bahasa Jawa halus". Ditambahkan Suherdi, semestinya Pujakesuma itu tak lagi dianggap Pendatang, "mengapa kita tidak menyebut masyarakat Sumatera saja" katanya.

Kini, anak keturunan orang jawa kebun di Sumatera itu telah banyak yang muncul sebagai Tokoh publik di berbagai bidang, baik sebagai Pengusaha, Militer dan Politik. Salah satu nama yang lahir dari rahim seorang perempuan kebun jawa, yang kini menjadi bahan perbincangan publik Sumatera Utara ialah Edy Rahmayadi. Ibunda dari Edy Rahmyadi merupakan seorang perempuan jawa di Perkebunan Langkat.

 Edy, yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara berdampingan dengan Musa Rajekshah, beberapa waktu lalu telah mendapat dukungan dari 20 DPD Kabupaten/Kota Pujakesuma di Sumatera Utara. Jika dahulu Orang-orang Jawa itu hadir sebagai kelompok masyarakat kelas dua, Kini suara mereka menjadi rebutan dalam berbagai pertarungan pilkada di Sumut. Orang-orang jawa yang dikenali sebagai Pujakesuma itu telah menjadi Komponen penting dalam kehidupan dan perjalanan pembangunan Sumatera Utara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline