Lihat ke Halaman Asli

Azra Vania Putri

Mahasiswa Universitas Airlangga

Parkir Liar Membuat Gusar

Diperbarui: 27 Desember 2024   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tinggal di Indonesia telah memaksa kami sebagai warga untuk selalu membawa kendaraan pribadi ke segala tempat yang kita datangi. Kurangnya infrastruktur dan transportasi umum, serta cuaca yang kurang mendukung menjadi alasan terbesar dari padatnya kendaraan di berbagai kota di Indonesia. Dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, Indonesia turut mengikuti arus perubahan tersebut. Namun, sebuah fenomena negatif yang juga ikut berkembang seiring waktu adalah parkir liar. Tentu "parkir liar" bukanlah hal yang asing bagi warga Indonesia; bahkan, menjadi tukang parkir adalah salah satu profesi yang sering ditemukan di Indonesia.

Seperti pada umumnya, parkir liar terjadi ketika pengendara kendaraan pribadi memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan, lalu seorang tukang parkir muncul dan meminta sejumlah uang sebagai 'bayaran' atas tempat parkir yang mereka tempati; tanpa ada kejelasan bahwa lahan tersebut memang milik atau berada di bawah kewenangan tukang parkir tersebut. Fenomena parkir liar ini seringkali menimbulkan kebingungan dan ketidaknyamanan bagi pengendara, karena mereka merasa dipungut biaya secara sepihak tanpa dasar yang jelas. Seiring jalannya waktu, para tukang parkir pun mengikuti perkembangan zaman dimana e-money (uang elektronik) menjadi salah satu alat transaksi bagi kaum muda. Dengan uang elektronik, warga tidak bisa membayar para tukang parkir liar tersebut dengan alasan yang cukup masuk akal: tidak memiliki uang tunai. Tentu hal tersebut mengakibatkan kerusuhan dan kebingungan bagi orang yang berprofesi tersebut.

Kejadian di Samarinda yang sempat viral dan mencerminkan permasalahan parkir liar ini. "Awalnya lagi duduk tenang di Tepian, terus ada ibu juru parkir gitu, nagih kita uang Rp 3 ribu. Karena kita anaknya cashless, jadi saya bilang tidak ada uang tunai bu, karena kami pakai cashless," ujar korban dalam video klarifikasinya. Situasi menjadi tidak terkendali ketika ibu parkir tersebut marah dan melakukan tindakan tidak pantas. "Terus ibu-ibu itu marah dan menyumpahi kami. Ibu itu juga bakar dupa atau kayu di bawah kaki kita. Terus pas kita mau pergi, ibu itu melempar batu, kami panik." Kejadian ini menunjukkan bagaimana parkir liar bukan hanya sekadar fenomena pungutan liar, tetapi juga bisa memicu tindakan agresif dan meresahkan masyarakat. Hal ini tentu saja tidak hanya terjadi di Kota Samarinda saja, melainkan di seluruh daerah di Indonesia. Dari permasalahan cash dan e-money ini, para tukang parkir pun beradaptasi dan menyiapkan strategi baru yakni menggunakan Q-ris atau transfer. Terdengar konyol, namun banyak kejadian yang menunjukan betapa modern parkir liar sekarang ini. Ada oknum bercerita, dirinya tiba-tiba saja didatangi tukang parkir di pinggir jalan selesai makan nasi padang, padahal sebelumnya tidak terlihat. Pada awalnya dia tidak ingin memberikan uang karena petugas parkir tersebut datang secara tiba-tiba. Namun, tukang parkir itu langsung menyodorkan barcode QRIS. Peristiwa tersebut terjadi di Jalan Prof Sudarto, Pedalangan, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah.

Apakah pantas menyebut penggunaan Q-ris pada fenomena parkir liar sebagai inovasi dan adaptasi terhadap perkembangan zaman dengan baik? Berbeda dengan parkir legal, parkir liar merupakan suatu tindakan ilegal yang merugikan dan mengancam ketertiban masyarakat. Dimulai dari ketidakjelasan dasar dari pemungutan biaya tersebut oleh oknum, hingga pemaksaan dan pemerasan verbal maupun fisik yang mengancam warga untuk membayar dengan terpaksa. Fenomena unik ini tentu wajib segera ditindakan dan tidak dibiarkan oleh pemerintah kota dan daerah. Maraknya fenomena parkir liar ini mencerminkan adanya celah dalam pengawasan dan penegakan hukum di lapangan. Parkir legal diatur secara jelas dengan tarif resmi serta dikelola oleh pihak yang berwenang; maka penggunaan E-money serta Q-ris merupakan inovasi yang memudahkan warga Indonesia. Berbeda dengan parkir liar yang hadir tanpa kejelasan pengelolaan dan sering kali menjadi ladang pungutan liar yang tidak masuk ke pendapatan daerah. Penggunaan teknologi seperti QRIS pada praktik parkir liar bukanlah sebuah inovasi positif, melainkan bentuk manipulasi perkembangan zaman yang dilakukan demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu, pemerintah kota dan daerah memiliki tanggung jawab untuk segera mengambil langkah lanjut untuk segera memberantas parkir liar. Penataan ulang sistem parkir, pengawasan ketat di titik-titik rawan parkir liar, serta sanksi tegas bagi oknum yang terlibat menjadi solusi yang harus diutamakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline