Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Ritualistik

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13794017581925494367

Tulisan ini pernah di muat di Harian Umum Tangsel Pos Ranah politik Indonesia selalu ramai dengan dinamika, perbincangan demokrasi sebagai sistem politik Indonesia turut serta menyemarak. Belum usai polemik otoritasi daerah Istimewa Aceh mengibarkan Bendera, kini muncul keriuhan baru yakni diresmikannya kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris. Persoalan mendasar dari berbagai kejangggalan historitas politik negeri ini tidak luput dari serangkaian sistem yang menaunginya. Salah satunya pedoman demokrasi yang hanya dipahami secara simbolistik.

Ranah Kedaulatan Negara

[caption id="attachment_279407" align="alignleft" width="300" caption="Doc. thepeacenow.wordpress.com"][/caption] Berbagai kalangan, baik kelompok sipil, pemerintah, pengamat bahkan akademisi sekalipun, berbondong lantang menyuarakan kedaulatan Republik Indonesia atas isu dibukanya kantor OPM di Inggris. Hujatan terhadap Ingggris yang mencoba mengusik kedaulatan Indonesia, hingga permintaan ketegasan pemerintah Indonesia terhadap Inggris yang mengizinkan dibukanya kantor perwakilan organisasi sparatis tersebut.

Hemat penulis, keriuhan tanggapan yang diberikan sebagian kalangan kepada pemerintah Inggris merupakan bukti devisit nasionalisme. Apa pasal? Sebagian mereka hanya melihat sisi luarnya polemik, tidak melihat secara mendalam bagaimana persoalan itu terjadi. Faktanya, sejauh ini tidak ada argumentasi yang merujuk pada persoalan di dalam negeri. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?

Manuver politik yang dilancarkan oleh gerakan sparatis OPM bukan kali pertama ini dilakukan, tetapi telah melalui jalan panjang diplomasi Internasional dalam rangka menggalang dukungan, dimulai seperempat abad yang lalu. Hal mendasar yang menjadi pertanyaan logis, adalah kemana pemerintah Republik Indonesia selama ini, dalam hal ini tentu Presiden, kemudian Gubernur yang memiliki tanggung jawab penuh di Papua Barat.

Sederhananya, banyak klaim atas tindakan sparatis, mulai dari perebutan kekuasaan, kekecewaan mendalam terhadap pemerintahan pusat, hingga terabaikannya hak rakyat, yakni kesejahteraan di segala bidang. Meskipun tidak dapat dibenarkan segala bentuk pemberontakan, namun perlu dilakukan evaluasi atas tindakan tersebut. Kegemaran kita, selalu ramai ketika sesuatu telah terjadi.

Proklamasi telah dibaca lantang 68 tahun silam oleh Soekarno, bapak bangsa, ia juga sebagai penanda Indonesia keluar dari penjajahan, bebas, merdeka secara harfiah, dan memangku janji para founding father untuk terus bahu membahu, gotong royong demi kemajuan bangsa, salah satu hal utama adalah mempertahankan kedaulatan Negara, terhitung dari ujung barat di Sabang, hingga ujung timur di tanah Papua.

Indonesia setelah presiden Soekarno, tidak mengindahkan mimpi besar Soekarno, yakni perjuangan yang terus menerus tanpa akhir, yakni perjuangan uantuk kebebasan hakiki, bukan saja bebas definitive kolonialisme, tetapi bebas hidup, sejahtera dan terpenuhi segala hak hingga mampu menjalankan kewahiban.

Seyogyanya, pemerintah Indonesia meredam kebangkitan nasionalisme Papua Barat, atau juga sering disebut dengan “Melanesia Barat”, dengan jalur diplomasi berbasis kinerja. Papua Barat sejauh ini menjadi bagian Indonesia yang paling ironi. Dengan kekayaanalam melimpah namun kesejahteraan, pendidikan dan taraf hidup sangat kritis, belum lagi persoalan keamanan yang seringkali menuai ketakutan masyarakat.

Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan dinamika politik di daerah, sehingga tidak memunculkan penyesalan-penyesalan sebagimana yang terjadi saat ini. Tidak menutup kemungkinan ketika pemerintah bersikap tak acuh dengan problematika sparatis. Akan muncul kantor perwakilan OPM di negara-negara Eropa selain Inggris. Pemerataan kesejahteraan sangat penting, sehingga mengikis kecemburuan sosial, dan itu hal utama.

Demokrasi Ritualistik

Selama ini, demokrasi dipahami hanya sebatas kajian ritualistik, di mana aksentuasi bermuara pada kebebasan berpendapat, memilih pemimpin secara bersama (pemilihan umum), kebebasan-kebebasan abstrak itu kemudian direpresentasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda pula. Hak Azasi Manusia (HAM), juga menjadi pertimbangan utama sebagai produk dari demokrasi. Hasilnya, segala dalih kesewenangan termasuk sparatisme menyebut diri sebagai aktualisasi demokrasi. Jelas hal tersebut kesalahan tafsir yang tidak terkonsentrasikan.

Merujuk pada filosofi, alam telah menempatkan manusia di bawah pemeritahan dua kekuasaan yang berdaulat: Penderitaan dan Kesenangan. Alam telah menunjukan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan kemudian (Bentham, Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Dua kekuasaan yang berdaulat antara kesenangan dan penderitaan, perpaduan yang khas menunjukkan iklim pemerintahan Indonesia saat ini. Kelompok elit yang diwakili oleh pemerintah sebagai pelaku kesenangan dan rakyat secara otomatis menerima peran penderitaan. Inilah kenyataan dari cara pandang kaum romantisme.

Pandangan kaum romantisme tersebut kemudian menciptakan imajinasi kemerdekaan sebagaimana telah diupayakan oleh OPM. Demokrasi, adalah legitimasi ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan asumsi terciptanya keadilan, kesetaraan dan rasa aman sebagai warga Negara adalah hal penting yang melatarbelakangi sebuah Negara. Sejauh ini, Indonesia dengan sistem politik demokrasi cukup bersinergi dengan kehidupan masyarakat yang egaliter.

Dengan tujuan itu pula-lah, Soekarno dengan teriakan semangatnya mengatakan jika ia bukan seorang Presiden, bukan Perdana Menteri, bukan Sekretaris Jenderal akan tetapi sebagai penyambung lidah rakyat. Kalimat itu yang telah menghunus semangat kemerdekaan pada masa itu, tak terbayang betapa dahsyatnya effect letupan suara Soekarno saat mengucapkan kalimat tersebut. Demikianlah Soekarno ingin menjelaskan sebuah Demokrasi, aturan moral dan etika yang berlaku berpusat pada rakyat, kesimpulan-kesimpulan yang berada di tangan rakyatlah yang digunakan untuk mendirikan sebuah demokrasi (Rousseau, Romantic of Politics, 1943).

Bagaimana dengan Indonesia kini, masihkah ada aliran Demokrasi sebagaimana yang dibesut Soekarno? Menjawab pertanyaan tersebut memerlukan waktu singkat, masihkah rakyat berkuasa? Jika tidak maka hanguslah Demokrasi. Masihkah peka pemimpin bangsa ini terhadap aspirasi rakyat? Jika tidak maka lenyaplah demokrasi. Dan tentu banyak lagi pertanyaan yang memiliki kesamaan makna untuk menggali demokrasi Indonesia kini.

*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi di Telkom Economy and Business school, Telkom University - Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline