Lihat ke Halaman Asli

AZNIL TAN

Koordinator Nasional Poros Benhil

Antara Bongbong dan Cendana

Diperbarui: 15 Mei 2022   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Miris memang! Anak mantan diktator dan koruptor Ferdinand Marcos Sr yang digulingkan dari kekuasaan dan diusir dari Filipina pada 1986 dalam Revolusi EDSA tetapi anaknya Marcos Jr menang telak dalam Pemilu Presiden (Pilpres) Filipina 2022.

Terpilihnya Marcos Jr yang akrab dipanggil Bongbong menjadi Presiden Filipina ini adalah sebuah anomali sosial. Praktek korupsi yang dikutuk manusia tetapi rakyat Filipina tidak menganggap perbuatan korupsi ayahnya Marcos Junior ini sebuah kejahatan. Esensi sejarah revolusi EDSA dalam penumbangan rezim Marcos begitu mudah hilang di rakyat Filipina.

Nampaknya, peristiwa Ferdianand Bongbong ini tidak tertutup kemungkinan akan terjadi juga di Indonesia. Indonesia dan Filipina  sama-sama pernah memiliki sejarah mendapat rezim diktator dan koruptor kelas kakap. Sejak Soekarno tumbang pada peristiwa berdarah 1965 dan digantikan oleh Soeharto.  

Selama 32 tahun (1967 - 1998) Soeharto
 berkuasa akhirnya ditumbangkan oleh gerakan reformasi dipelopori oleh mahasiswa. Setelah 3 hari Gedung MPR/DPR diduduki mahasiswa, Soeharto mengumumkan dirinya lengser keprabon.

Dalam era reformasi, sistem politik pun berubah total yaitu, sistem demokrasi memberikan hak kebebasan setiap warga negara Indonesia untuk berpolitik. Setiap WNI memiliki hak memilih dan dipilih dalam dunia politik. Meski WNI itu berasal dari keluarga dan kroni rezim Soeharto tapi hak politiknya tidak dikebiri dan juga memiliki hak untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden RI atau legislatif. Syarat presiden harus orang Indonesia asli juga dihapus dalam amademen UUD 1945.

Pemilu ulang 1999 untuk mengakhiri pemerintahan transisi Presiden BJ.Habibie yang menggantikan Soeharto, keluarga Cendana sempat menghilang dari panggung politik. Namun pada 2002,  Hardiyanti Rukmana yang populer dipanggil Tutut selaku anak sulung Soeharto lalu membentuk Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan dinyatakan lulus oleh KPU sebagai partai peserta pemilu 2004. Namun partai ini tidak lolos karena hanya memperoleh suara sebesar 2,11% dari syarat Parliamentary threshold sebesar 3%. Sehingga Tutut tidak bisa mencapres.

Pada pemilu 2009, PKPB mengubah namanya menjadi Partai Karya Pembangunan Bangsa dengan perolehan suara 1,4%.  Namun keluarga Cendana sepertinya tidak pernah menyerah membangkitkan kembali kejayaan Dinasti Soeharto ini.  

Pada Pemilu 2014 bukan partai PKPB saja yang hadir untuk merebut kekuasaan. Mereka mendirikan 2 partai baru yaitu,  Partai Nasional Republik (Nasrep) yang dibina oleh Hutomo "Tommy" Mandala Putra Soeharto dan Partai Karya Republik (Pakar) Ari Sigit Soeharto. Namun ketiga partai ini tidak lolos verifikasi administrasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Untuk Pemilu 2019 lahirlah Partai Beringin Karya atau disingkat dengan Partai Berkarya yang merupakan fusi dari 2 partai politik, yaitu Partai Beringin Karya dan Partai Nasional Republik. Namun partai ni juga tereliminasi dengan perolehan suara 2,09 persen dari suara nasional. Alhasil, Partai Berkarya tidak lolos ke Senayan dari syarat Parliamentary threshold sebesar 4 persen.

Melihat perjuangan anak Soeharto yang selalu gagal  membangun kejayaan bapaknya kembali, apakah rakyat Indonesia adalah bangsa yang konsisten melawan koruptor di Republik ini? Bangsa yang cerdas berdemokrasi? Tunggu dulu! Jangan berbangga dulu!

Sisi lain, ada kekuatan lain berkibar di kancah politik Indonesia., yaitu Partai Gerindra.  Partai yang didirikan oleh sosok menantu Soeharto bernama Prabowo. Partai ini mampu menjadi magnet besar di panggung politik sejak Pemilu 2009 sampai sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline