Lihat ke Halaman Asli

AZNIL TAN

Koordinator Nasional Poros Benhil

Perilaku Elit Politik Berbagi Lapak

Diperbarui: 29 Juli 2019   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olah pribadi

Ada yang bertanya sama saya, bagaimana cara rakyat menghadapi watak politikus Indonesia yang pragmatis, transaksional, dan tidak konsisten dengan janji politik yang disampaikan kepada rakyat pada saat Pemilu ???

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kajian berbagai aspek agar kita sebagai rakyat tidak terjebak sikap emosional.

Memang faktanya, peradaban Indonesia terbentuk dari zaman dulu sampai sekarang sangat kuat ditentukan oleh elit politik.. Dulu, elit politik menguasai full perjalanan negara dari sejak awal pembentukan pemerintahan sampai penentuan kebijakan yang akan dilakukan kedepan. Posisi rakyat cuma sebagai penghuni yang baik. Jangan coba rakyat macam-macam ! Dijamin akan terkucilkan. Kecuali kompromis dengan selera  sang elit politik.
Rekonsiliasi
Di era reformasi, demokrasi telah memberikan ruang kepada rakyat untuk bebas mencari sosok elit politik sebagai penguasanya. Namun demokrasi itu hanya diberikan sebatas kemerdekaan pada pemilihan sosok pemimpin yang diinginkan rakyat. Tetapi rakyat tidak punya kendali lagi untuk menentukan arah perjalanan selanjutnya setelah elit politik tersebut terpilih sebagai penguasa. Rakyat cuma bebas dalam memilih sang penguasa tetapi bukan bebas menentukan langkah-langkah kedepan untuk mewujudkan visi-misi, platform atau program yang dijanjikannya pada waktu kampanye.

Sistem demokrasi tersebut membuka celah para pelaku elit politik menjadikan panggung pesta demokrasi sebagai alat berkuasa bukan sebagai kehendak atau komitmen untuk memperjuangkan ideologi, gagasan, dan program.

Saling serang, saling bongkar aib (kampanye negatif), dan tebar hoaks (kampanye hitam) pada saat pemilu hanyalah sebuah tuntutan skenario agar penontonnya (baca : rakyat) tertarik adegan  pertarungan itu. Seperti menonton acara smackdown baku hantam diatas ring..

Tentang pengungkapan ada elit politik sebagai tuan tanah memiliki lahan ratusan ribu hektar yang menindas rakyat; tentang pengungkapan ada elit politik sebagai otak pencuilkan aktivis 98 yang tidak jelas pertanggungjawabannya; tentang pengungkapan kasus korupsi merugikan negara miliyaran sampai triliunan rupiah; dan berbagai pengungkapan mega skandal besar lainnya hanyalah sebuah tuntutan adegan smakedown agar penonton percaya bahwa pertarungan idealis dan gagasan itu adalah benar

Ketika usai pemilu para elit politik tersebut saling berbaik-baik dan berbagi lapak. Politik transaksional pun berlangsung. Elit politik  bertransaks berbagi kekuasaan. Berunding berbagi lapak, berbagi kue dan saling memback-up dosa yang ada diantara mereka.

Inilah realita politik kita dimana dulu saya pernah bangga atas pesatnya pertumbuhan demokrasi  Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Sekarang saya baru sadar, bahwa demokrasi Indonesia hanya hebat pada saat tahapan pemilihan (pemilu) tetapi keropos pada tahapan penerapan flatform  politik yang dijanjikan.

Rakyat hanyalah pendorong mobil mogok, setelah mobil jalan lalu ditinggalkan. Keterlibatan rakyat terjadi karena sebuah kebaikan diberikan sang penguasa. Keterlibatan publik ketika ada amuk massa. Jika adapun kontrak politik bukanlah sebuah produk hukum yang mana apabila tidak dilaksanakan akan terkena sanksi.  .

Malah sekarang yang muncul drama baru berjudul REKONSILIASI. Konon alasannya untuk merajut kembali perbedaan dan mempersatukan masyarakat yang terbelah akibat pemilu.

Jika tidak segera dilakukan rekonsiliasi negara  akan hancur lebur dan masyarakat akan  berperang. Maka kebutuhan rekonsiliasi adalah untuk mencegah terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline