aku menatap bandung di usianya yang sudah tua, kota itu sudah di penuhi sesak dan jeritan tangis keterasingan hidup, melalui perjalanan takdir ku menemu di sana, jalannya bercerita dan stasiun adalah bahasa yang mendalam.
keterasingan kota dan tuntutan hidup jutaan manusia memenuhi sesak, di pagi hari jalanan di penuhi mobil dan motor, siang sore pun menjadi hal yang sama, wajah kota yang selalu berbeda dari desa.
entahlah seribu kata ingin mewakili, aku menatap diriku semakin jauh, realita dan keinginan bertengkar penuh arti, barangkali jalan waktu selalu berproses yang sama, pada letih keasaan dan jiwa rindu kedamaian.
Di sudut kota aku menatap ribuan kisah dengan warna warni emosi, sedih bahagia kecewa marah damai bersatu membentuk pelangi, jutaan anak kecil, jutaan dewasa, jutaan orang tua mengambil peran masing masing.
huhh,, sebuah pemandangan yang ramai oleh sepi aku berdiri di sisi jalan sebuah halte yang terlihat rapuh, tubuhnya di kikis waktu, kecoklatan karatan dan garis kedewasaan membekas, menahan panas dan dingin menjadi peneduh meski dalam kesepiannya bertanya semuanya untuk apa?
pertanyaan itu nampaknya bukan untuk dia semata, namun bagi mereka yang berteduh juga, bagi mereka yang yang tubuhnya di sini namun pikiran dan jiwanya entah kemana, bagi mereka yang selalu hidup di masa depan dan harapan.
Di halte itu juga sudut pandangku tentang bandung mulai berubah, pergulatan antara hal yang tidak pernah menjadi harapan dan hal yang tidak pernah di rencanakan. ah, aku ingat bagaimana logika sulit mendeskripsikan senyum dan sesal dalam muara yang setubuh.
dari kejauhan terlihat warna hijau perlahan mendekat, sebuah angkutan umum dengan kernetnya yang khas
aku duduk di samping seorang ibu, di depanku seorang gadis yang kalau di taksir terlihat seperti mahasiswa, matanya gelap kelam dan alisnya selurus harapan manusia yang kadang nihil pada kenyataan, entahlah ia menikmati suasana kota di angkutan ini atau tidak, pada akhirnya yang terlihat jelas ialah caranya membunuh kenyataan, dengan mendengarkan audio dari handphone nya, pandangannya lurus kedepan berusaha menembus dinding yang di depan ialah aku, aku tahu ia tidak sedang menatpku, sorot itu terlihat melumat dimensi masa depan atau berkecimpung mengenang masa lalu, seorang nenek akhirnya menegurnya, ada posisi duduk yang di isyaratkan oleh nenek itu karena merasa tak nyaman,
wanita itu tersenyum plastik sambil membenarkan posisi duduk, aku tau itu senyum plastik.!!
dan andai dia bisa baca pikiranku barangkali dia akan membantah" apakah di dunia ini ada seuatu yang tidak plastik,