Lihat ke Halaman Asli

Observasi Komunikasi Terapeutik dalam Pelayanan Kesehatan Bidang Farmasi

Diperbarui: 8 Januari 2025   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Komunikasi terapeutik adalah suatu bentuk komunikasi yang dirancang secara sadar dan terencana, dengan tujuan untuk mendukung proses penyembuhan pasien. Dalam konteks ini, komunikasi terapeutik berfungsi sebagai alat untuk membantu pasien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis, serta membangun hubungan yang lebih baik antara pasien dengan tenaga kesehatan. Komunikasi terapeutik sangat penting dilakukan karena dengan melakukan komunikasi terapeutik pasien dapat memahami dengan jelas tentang penyakit yang diderita, langkah penyembuhannya, mengurangi beban pikiran pasien, membantu pasien menerima diri dengan ikhlas, membangun hubungan interpersonal antara pasien dengan tenaga kesehatan, serta dapat membantu mempercepat proses penyembuhan pasien itu sendiri.

Komunikasi terapeutik dapat dijumpai di setiap bidang pelayanan kesehatan. Mulai dari pendaftaran awal pasien hingga pasien tersebut sembuh komunikasi terapeutik dapat dijumpai. Bidang farmasi juga tidak luput dalam penerapan komunikasi terapeutik. Jika dilihat sekilas apoteker hanya memberikan obat saja kepada pasien. Namun, sebenarnya apoteker selalu menerapkan komunikasi terapeutik saat memberikan obat kepada pasien. Biasanya apoteker akan menjelaskan tentang kegunaan obat, cara penggunaan obat, dosis obat, aturan pakai obat, efek samping obat, serta hal-hal lain yang perlu disampaikan.

Observasi telah dilakukan penulis kepada apoteker yang ada di Apotek Semolowaru yang berada di Jalan Semolowaru Selatan XI No. 2, RT. 002/RW. 003, Semolowaru, Kec. Sukolilo, Surabaya. Berdasarkan observasi jika apoteker menerima resep dari pasien yang ingin menebus resep maka apoteker akan melakukan screening resep terlebih dahulu untuk mengantisipasi resep tersebut adalah resep palsu. Screening resep dilakukan dengan melakukan pengecekan nama dokter yang memberikan resep, nomor izin dokter, tanggal pemberian resep, nama pasien, usia pasien, alamat pasien, dan jika pasien anak-anak perlu ada data berat badan. Kemudian apoteker juga perlu melakukan pengecekan resep yang diterima adalah resep asli atau resep salinan. Jika data-data telah dicek dan telah terbukti bahwa bukan resep palsu, maka apoteker akan mengecek nama obat yang diresepkan, jenis obat, dosis, sediaan, dan aturan pakai. Kemudian apoteker akan melakukan pengecekan apakah obat yang diresepkan tersedia di apoteknya atau tidak. Apoteker juga melakukan pengecekan dosis obat yang diresepkan tadi apakah sesuai dengan usia dan keadaan pasien. Apoteker juga dapat melakukan pengecekan apakah obat yang diresepkan sesuai dengan penyakit yang didertita oleh pasien dengan menanyakan kepada pasien atau bisa dicocokkan dengan dokter yang menangani pasien tersebut. Setelah seluruh data telah dicek maka apoteker akan melakukan konfirmasi kepada pasien terkait harga obat sekaligus menanyakan apakah obat diambil sebagian atau seluruhnya serta jika obat yang diresepkan lebih dari satu obat maka apoteker juga menanyakan obat mana saja yang akan ditebus. Jika pasien telah menyetujui, maka apoteker akan menyiapkan obat yang diresepkan dan disetujui pasien tadi. Apoteker akan menuliskan etiket, yakni aturan pakai, pada setiap obat. Jika obat tidak ditebus seluruhnya, maka apoteker akan menuliskan salinan resep. Setelah obat telah siap apoteker akan menyerahkan obat kepada pasien sekaligus melakukan komunikasi informasi edukasi atau komunikasi terapeutik kepada pasien. Apoteker akan memanggil nama pasien untuk memastikan obat diambil oleh pasien itu sendiri. Jika obat diambilkan oleh orang lain, maka apoteker harus memastikan bahwa pasien harus memahami informasi yang disampaikan oleh apoteker dari orang yang mewakili. Apoteker harus menjelaskan nama obat, kegunaan, aturan pakai, cara penggunaan, efek samping obat, dan obat mana yang harus dihabiskan. Informasi dapat diulang kembali untuk memastikan pasien atau orang yang mewakili telah paham dengan penjelasan apoteker.

Jika pasien membeli obat tanpa resep atau yang biasa disebut swamedikasi/pengobatan sendiri, maka ada sedikit perbedaan dalam pelayanannya. Saat pasien datang dan menyebutkan keluhan yang diderita apoteker perlu menanyakan lebih rinci tentang keluhan tersebut bisa dengan menanyakan gejala, berapa lama keluhan yang dirasakan, dan obat yang telah diminum. Jika penyakit yang diderita pasien telah teridentifikasi, maka apoteker bisa memberikan pilihan obat kepada pasien. Kemudian pasien dapat memilih salah satu obat dan apoteker dapat segera mempersiapkannya. Setelah obat diberi etiket apoteker akan menyerahkan obat kepada pasien dan menjelaskan aturan pakai, cara penggunaan, dan efek samping obat. Apoteker dapat menolak pasien yang membeli obat keras, narkotika, dan psikotropika jika pasien tidak membawa resep dari dokter karena ketiga jenis obat tersebut harus dibeli dengan resep asli dari dokter. Jenis obat narkotika dan psikotropika jika ditebus sebagian, maka penebusan selanjutnya harus dilakukan di apotek yang sama. Obat narkotika dan psikotropika juga harus ditebus dalam daerah yang sama dengan rumah sakit tempat pasien mendapatkan resep. Terdapat obat keras yang dapat diberikan apoteker langsung kepada pasien tanpa resep dokter. Obat keras tersebut harus terdaftar dalam Obat Wajib Apotek (OWA). Pemberian OWA harus dalam batasan tertentu yang telah ditetapkan.

Apoteker harus bisa menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik agar pasien dapat memahami manfaat dan bahaya obat yang akan dikonsumsi. Pasien swamedikasi terkadang belum memahami bahaya yang dapat ditimbulkan obat. Pasien biasanya akan memaksa agar apoteker dapat memberikan obat yang mereka inginkan. Bahkan pasien swamedikasi menjadi emosi dan marah karena apoteker menolak memberikan obat. Dalam kasus tersebut apoteker tidak boleh emosi saat menangani pasien. Apoteker harus menjelaskan dengan halus agar pasien dapat mengerti bahaya yang dapat ditimbulkan obat jika dikonsumsi sembarangan. Komunikasi terapeutik yang baik harus dijaga dengan baik agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada pasien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline