Lihat ke Halaman Asli

Derita di Lumbung Padi

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dulu, pada era pemerintahan Soeharto, Indonesia terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi tototentrem kerto raharjo. Hijaunya daratan Indonesia menjadi nilai tambah atas potensi yang dimiliki oleh Indonesia di mata dunia. Bahkan hutan bakaunya adalah yang terluas di dunia. Di dalam perut bumi, terkandung berbagai bentuk barang tambang berupa emas, timah, tembaga, batubara, minyak, dan sebagainya. Belum lagi wilayah perairannya yang terbentang, mencakup 14 % dari seluruh pesisir dunia. Dengan kondisi geografis yang sangat stategis itu, maka tidak berlebihan Indonesia mendapat julukan Negari ‘Zamrud Khatulistiwa’. Namun kebanggaan itu kini telah terkubur, kemudian tumbuh kembali menjadi negeri agraris yang merupakan salah satu pengimpor pangan yang besar di dunia.

Ironi sekali, Indonesia yang merupakan produsen terbesar kelapa sawit dengan produksi 17,2 juta ton/tahun. Tapi kini jutaan rakyat kesulitan beli minyak goreng. Di perut bumi yang konon berlimpah minyakpun, pada akhirnya rakyat juga harus membeli dengan harga yang sangat mahal. Bahkan dari tahun ke tahun harganya cenderung naik, atau hari ini muncul bahasa halusnya pembatasan BBM atau BBM bersubsidi. Tentu hal ini menggelitik pikiran kita. Bagaimana bisa rakyat begitu menderita di lumbung yang penuh dengan sumber daya alamnya. Sekali lagi, adalah ironis di negeri yang sangat kaya ini namun rakyatnya banyak dibawah garis kemiskinan bahkan hutang negarapun semakin bertambah. Mungkinkah ada yang salah dari semua yang telah terjadi di negeri tercinta ini?

Seperti yang kita tahu, pengaturan kebijakan ekonomi negeri ini dilakukan atas dasar kapitalistik oportunistik. Dimana pengaturan tersebut sangat berdampak pada kesenjangan ditengah masyarakat. Karena yang berperan sebagai pelakunya adalah pemilik modal. Sudah menjadi rahasia umum, pemegang modal terbesar negeri ini adalah asing. Sehingga wajar jika segala-gala yang kita miliki di ladang sendiri harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Karena ladang itu telah diprivatisasi oleh asing. Dan tentunya pengaturan ini sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Sudah saatnya kita, sebagai bagian masyarakat harus lebih cerdas memilih. Terus mempertahankan kondisi yang kian memburuk ini, ataukah beranjak menuju kehidupan sejahtera dan mulia? Satu yang membuat masyarakat akan menjadi lebih baik, yakni ketika masyarakat mau menggunakan tatanan yang sesuai dengan aturan sang Pencipta. Aturan itu adalah islam, tentu dibarengi aparat yang amanah. Wallahu’alam bi shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline