Lihat ke Halaman Asli

Azmi Nawwar

Mahasiswa

Belajar Arti Kehidupan dari "Bukan Pasar Malam"

Diperbarui: 20 Maret 2018   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Apa yang lebih tragis dari sebuah kematian ? Yaitu kerindukan dan kehilangan akan orang yang ditinggalkan."

Kiranya hal itu tepat untuk menggambarkan buku yang satu ini. Buku yang berjudul "Bukan Pasar Malam" karangan Pramoedya Ananta Toer ini merupakan salah-satu buku yang saya pilih ketika membeli buku di toko buku.

Setelah sebelumnya kami menonton film "Benyamin Biang Kerok" di Bioskop. Kami pun melanjutkan untuk berkeliling-keliling toko buku untuk refreshing mata sejenak sambil melihat-lihat buku terbitan baru.

Sayangnya untuk tahun ini belum ada buku terbitan baru yang menarik perhatian saya. Walaupun sebetulnya saya menanti-nantikan buku terbaru karangan Sapardi Djoko Damono yang berjudul "Yang Fana Adalah Waktu" tapi sangat disayangkan buku tersebut belum masuk ke toko buku yang saya datangi.

Perhatian saya justru tertuju kepada buku Pram "Bukan Pasar Malam" dan Albert Camus dengan judul "Pemberontak" yang ditempatkan di rak buku fiksi. Dua buku tersebut merupakan buku-buku yang ditulis oleh para pengarang yang terkenal dalam dunia sastra dan filsafat.

Sebelum membaca "Bukan Pasar Malam" terlebih dahulu saya telah membaca roman termahsyur dari Pram yaitu Tetralogi Pulau Buru ketika liburan akhir semester kelas X kemarin. Jujur saja saya merasa kagum bahkan ketika mengetahui latar belakang dari pembuatan roman Tetralogi tersebut.

Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana Pram meracik cerita sekompleks itu dengan sumberdaya yang terbatas selama dalam masa tahanan politik di dalam fasilitas Inrehab Pulau Buru. Bahkan dengan cerita yang sangat mendetail dan dengan tokoh yang sangat banyak beliau bisa membuatnya menjadi sebuah mahakarya yang memukau dan telah diterjemahkan hingga mancanegara.

Hal itulah yang membuat saya tidak ragu dalam memilih buku "Bukan Pasar Malam" ini sebagai bahan bacaan saya. Harganya pun juga terbilang murah untuk kantong pelajar, mungkin setara dengan harga buku komik yang beredar saat ini.

Buku "Bukan Pasar Malam" sendiri ditulis oleh Pram ketika beliau masih muda, kira kira 6 tahun setelah Indonesia merdeka. Buku ini pertamakali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951.

Dalam buku ini merupakan cerita singkat mengenai pengalaman hidup seorang perwira pasca revolusi tahun 1945. Dimana Pram menggambarkan tokoh tersebut sebagai tokoh Aku.

Aku merupakan seorang perwira yang berasal dari Blora dan ditugaskan di Ibu Kota Jakarta. Setelah kemerdekaan Republik, peran tentara khususnya tentara berpangkat rendah menjadi tidak dibutuhkan hingga akhirnya tokoh Aku pun bekerja di perpustakaan dan hidup dengan sangat sederhana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline