Oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan
Ada beberapa pengalihan hutang yang melanggar syar’i yang biasa terjadi di tengah masyarakat :
1.Menjual hutang tak tertagih
2.Menjual giro
3.Menjual surat hutang dengan dalih investasi
Menjual Hutang Tak Tertagih
Hal ini sering dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga keuangan yaitu dengan menjual hutang yang sulit tertagih. Biasanya jual beli hutang dilakukan dengan nilai yang lebih rendah dari nilai hutang yang tak tertagih.
Misal A punya piutang 10 dinar ke B, karena piutang A sulit tertagih di B maka oleh A hutangnya dijual ke C sebesar 8 dinar. Maka C mendapat keuntungan 2 dinar meskipun belum pasti tertagih. Ini jelas riba karena dalam akad murabahah (jual beli) harus ada objek (barang atau jasa) yang diperjualbelikan, sedangkan dalam hal ini yang dijualbelikan adalah piutang. Dan tidak boleh piutang dijadikan objek yang bisa mendatangkan manfaat.
Rasulullah Saw. “Dilarang (tidak boleh) salaf bersama jual beli”. (HR Abu Dawud, TIrmidzi, An-Nasa’i, & Ibnu Majah, dihasankan oleh Al-Albani)
Yang dimaksud salaf ialah piutang. Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas ra bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan) sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya”. (Imam Asy-Syairazi asy-Syafi’i, Al-Muhadzdzab 1/304)
Menjual Giro
Menjual giro (cek mundur) sering juga dilakukan oleh seeorang ketika dia membutuhkan uang segera sebelum tanggal pencairan giro. Dia jual giro itu di bawah nilai yang tertera di dalam giro tersebut. Ini jelas riba karena sama dengan yang di atas berjual beli piutang atau piutang dijadikan objek yang bisa mendatangkan manfaat.
Misal A mempunyai giro dengan nilai 5 dinar dan bisa dicairkan tanggal 15 Rabiul Awal 1431. Kemudian tujuh hari sebelum pencairan yaitu tanggal 8 Rabiul Awal 1431 dijual kepada B senilai 4 dinar, maka B mempunyai untung 1 dinar yang bisa dicairkan tanggal 15 Rabiul Awal 1431.
Dalam akad seperti ini ribanya sudah tumpang tindih. Gironya saja sudah riba karena mengandung gharar (ketidakjelasan) apakah pasti bisa cair atau tidak, bisa jadi ketika pencairan ternyata kosong. Sudah mah gironya mengandung gharar, dijualbelikan pula.
Memang zaman khilafah Islamiyah dulu ada suftaja atau warkat (semacam kuitansi titipan dinar dan dirham). Suftaja ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan dinar dirhamnya di tempat (kota) lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. (Al-Fayyumi, Al-Mishbah al-Munir 1/278 dan Al-Fairuz, al-Qamus al-Muhith 1/301)
Setelah suftaja ini diserahkan ke tempat pengambilan titipan untuk diambil dinar dirhamnya, baru kemudian dipakai transaksi jual beli. Jadi suftaja-nya sendiri tidak dijadikan alat bayar, apalagi dijadikan objek jual beli (komoditi) yang bisa mendatangkan keuntungan.
Menjual Surat Hutang dengan Dalih Investasi
Surat hutang yang diperjualbelikan di masyarakat ini disebut obligasi. Biasanya obligasi ini dikeluarkan oleh perusahaan untuk menutupi hutang-hutangnya. Surat hutang ini dijual ke pihak pembeli dengan diiming-imingi keuntungan bunga sekian persen per tahun.
Contohnya, perusahaan A mengeluarkan surat hutang (obligasi) 1000 unit dengan nilai total 10.000 dinar. Maka harga obligasi per unitnya adalah 10 dinar. Kemudian ditawarkan kepada pembeli dengan bunga 12 % per tahun. Pembeli boleh membeli 2 unit atau lebih tergantung dari kesepakatan dengan pihak penjual (perusahaan).
Biar ribanya tidak terlihat maka dibuatlah istilah obligasi syariah atau disebut sukuk. Bedanya kalau obligasi biasa bilangnya ada keuntungan atau bunga 12 % per tahun, kalau obligasi syariah (sukuk) bilangnya bagi hasil per tahun tanpa ada bagi rugi dan nilai pokoknya dijamin tidak hilang.
Ribanya makin bertumpuk, sudah mah surat hutang dijualbelikan, dibilangnya investasi pula dengan menyatukan akad jual beli surat hutang dengan ijarah (sewa), mudharabah (investasi bagi hasil) dan lain-lain. Padahal tidak boleh menyatukan dua akad dalam satu transaksi.
Rasulullah Saw melarang dua akad dalam satu transaksi (Muslim 3/1565, Nasa’i 7/4674, Ibnu Majah 2/2477) karena di dalamnya terdapat suatu kesamaran, tipuan, kelaliman, aib, kerancuan pada ungkapan penawaran dan besar kemungkinan terjadinya kecurangan. Diriwayatkan Ahmad dalam kitabnya Musnad, dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah Saw melarang dua akad dalam satu transaksi.
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal dua syarat yang ada dalam jual beli”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau berkata hadits ini “hasan shahih”). Imam Ahmad rh dalam kitabnya Al-Mughni berkata, “Dilarang dua syarat dalam satu akad jual beli”.
Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa’ berkata, “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, ia telah mendapat kabar bahwa Rasulullah Saw melarang dua jual beli dalam satu transaksi. (Shahih, HR Tirmidzi No. 1231, Nasa’i No. 4632, Ahmad No. 9582 (2/432), Ibnu Hibban No. 4973 (11/347) dan Al-Baihaqi No. 10.660 (5/343))
Pengalihan Hutang dalam Islam
Dalam Islam tidak boleh melakukan akad jual beli seenaknya. Islam mengatur akad-akad dalam hal jual beli yang disebut fiqih muamalah (tata cara jual beli). Dalam fiqih muamalah, diatur akad dalam hal pengalihan hutang piutang yaitu Hawalah.
PENGERTIAN HAWALAH
1.Menurut bahasa
Yang dimaksud hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa adalah “Annaqlu min mahallin ilaa mahalli” (Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain). (al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah, hal. 210)
2.Menurut syara’
Pengertian Hiwalah menurut syara’ (istilah) para ulama mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
a.Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”.
b.Menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali, hiwalah adalah “Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain”.
Kalau diperhatikan, maka kedua definisi di atas bisa dikatakan sama. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa madzhab Hanafi menekankan pada segi kewajiban membayar hutang. Sedangkan ketiga madzhab lainnya menekankan pada segi hak menerima pembayaran hutang.
JENIS HIWALAH
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian :
1.Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a.Hiwalah al-haqq yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang (pemindahan hak).
b.Hiwalah al-dain yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang (pemindahan hutang/kewajiban).
2.Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi 2 jenis :
a.Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat)
A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham. Sedangkan B berpiutang kepada C sebesar 5 dirham. B kemudian memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran hutang B kepada A.
b.Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak).
A berhutang kepada B sebesar 5 dirham. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A.
Kesimpulan
Akad hiwalah ini adalah solusi bagi orang yang berutang tapi masih dalam keadaan sempit dan bagi orang berpiutang yang sedang dalam keadaan membutuhkan. Sayangnya, akad ini jarang dilakukan oleh kaum muslimin karena ketidaktahuan tentang fiqih muamalah.
Dengan belajar fiqih muamalah maka akan terhindar dari riba yang termasuk dosa besar. Bahkan Ibnu Taimiyah rh mengatakan bahwa dosa riba itu setingkat di bawah syirik. Syaikh Utsaimin mengatakan bahwa barangsiapa yang mengingkari keharaman riba bisa menyebabkan murtad.
Jangan sampai paham dan mengamalkan fiqih ibadah dengan serius tapi melupakan fiqih muamalah yang bisa menyebabkan terjerumus ke dalam dosa besar setingkat di bawah syirik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H