Dalam beberapa tahun terakhir ini, perselisihan antara China dan Filipina dalam mengklaim maritime dan teritorial di Laut China Selatan menyebabkan Filipina meningkatkan keamanan militernya dengan membeli empat kapal perang dari Hyundai Heavy Industries Korea Selatan dengan harga sedikit di bawah $1 miliar dan juga membeli rudal BrahMos senilai $375 juta dari India. Selain Filipina beberapa negara di kawasan Asia Tenggara juga melakukan peningkatan militernya.
Melihat fenomena ini lalu muncul pertanyaan apakah benar Asia Tenggara sekarang sedang berlomba-lomba dalam meningkatkan persediaan senjata militer mereka? dan apabila hal tersebut benar apakah perselisihan politik dan teritorial yang berkepanjangan oleh China yang menjadi faktor utama dalam perlombaan senjata tersebut di kawasan Asia Tenggara? Apakah perlombaan senjata tersebut didorong karena negara-negara merasa terancam dengan China?
Peningkatan Senjata di Kawasan Asia Tenggara
Selain Filipina yang yang membeli empat kapal perang dan rudal BrahMos dari Korea Selatan dan India, negara Indonesia yang juga salah satu negara lain yang mengincar agresi teritorial China, telah meningkatkan angkatan lautnya , dengan pengadaan tiga kapal selam dan beberapa kapal perang baru dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Basis Data Transfer Senjata Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm, pengiriman senjata ke Asia Tenggara hampir dua kali lipat dari tahun 2005 hingga 2009 dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, dengan pengiriman senjata ke Malaysia melonjak 722%, Singapura sebesar 146% dan Indonesia sebesar 84%.
Singapura telah muncul sebagai anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pertama di antara sepuluh pengimpor senjata global teratas sejak Perang Dingin. Indonesia telah meningkatkan anggaran pertahanan 2011 menjadi US$6,3 miliar, yang berpotensi membuat pengeluaran militer melampaui batas 1% dari produk domestik bruto (PDB) untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun.
Vietnam juga telah menandatangani kesepakatan $3,2 miliar dolar dengan Rusia untuk enam kapal selam diesel kelas kilo diikuti dengan kesepakatan untuk membeli dua puluh jet tempur Sukhoi-30 jarak jauh. Thailand telah memesan dua belas jet tempur JAS Gripen dari Swedia untuk memodernisasi angkatan udaranya yang sudah tua. Sedangkan Malaysia baru saja menerima dua kapal selam kelas Scorpene untuk ditempatkan di pangkalan angkatan laut di Kalimantan.
Oleh karena peningkatan senjata-senjata tersebut, Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Indonesia menduduki posisi ketiga importir senjata terbesar di Asia Tenggara pada 2016-2020 yang mana nilai impor senjata Indonesia mencapai 2,4 miliar SIPRI TIV atau 1,7% dari total impor di dunia dalam lima tahun terakhir.
Vietnam sendiri menduduki posisi pertama sebagai importir senjata terbesar di Asia Tenggara dengan nilai impor mencapai 2,5 miliar SIPRI TIV atau 1,8% dari total impor di dunia pada 2016-2020. Sedangkan Singapura berada di urutan kedua dengan nilai impor sebesar 2,4 miliar SIPRI TIV atau 1,7% dari total impor global. Dan yang lainnya seperti Thailand dan Filipina yang proporsi impor senjatanya sebesar 1,2% dan 0,8% pada periode 2016-2020.
China Sebagai Pemicu?
Asia Tenggara merupakan tuan rumah dari enam negara yaitu Brunei Darusalam, China, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Filipina, yang mempunyai masalah maritim teritorial yang kompleks disebabkan keenam negara tersebut memiliki klaim atas kedaulatan yang tumpang tindih atas wilayah teritorial.