Bukit Surowiti di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, bukan sekadar tempat wisata biasa. Bukit ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah, tradisi, dan mitos yang terus hidup dalam masyarakat setempat. Awalnya, Bukit Surowiti lebih dikenal sebagai destinasi wisata religi. Tempat ini dianggap suci karena menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Di kawasan ini, terdapat Goa Langseh yang diyakini sebagai petilasan atau makam Sunan Kalijaga, salah satu Walisongo yang dihormati, yang mana hal tersebut menambah nilai spiritual dan religius tempat ini. Selain itu, bukit ini juga dikenal sebagai pusat dari berbagai mitos mistis yang telah berkembang sejak lama.
Salah satu mitos yang paling populer di Bukit Surowiti adalah tentang praktik pesugihan, sebuah ritual yang diyakini dapat memberikan kekayaan secara instan melalui bantuan gaib. Mitos ini menggambarkan bagaimana masyarakat setempat menggabungkan unsur-unsur spiritual dengan kepercayaan mistis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bukit Surowiti, dengan segala kisah dan kepercayaan yang mengitarinya, menjadi tempat yang memikat bagi para pencari pengetahuan, wisatawan, dan mereka yang tertarik pada hal-hal supranatural.
Kepercayaan terhadap praktik pesugihan di Bukit Surowiti tidak hanya sekadar mitos, melainkan telah membentuk pandangan dunia dan nilai-nilai dalam masyarakat lokal. Pesugihan dipandang sebagai jalan alternatif untuk mencapai kemakmuran, yang sering kali dianggap lebih instan daripada cara konvensional. Praktik ini bahkan memiliki daya tarik tersendiri, baik bagi masyarakat sekitar maupun orang luar yang meyakini adanya kekuatan mistis di Bukit Surowiti. Fenomena ini menunjukkan bahwa kepercayaan pada kekuatan gaib tidak hanya berkaitan dengan aspek religius, tetapi juga ekonomi dan sosial.
Pesugihan di Bukit Surowiti ini dapat dikaji dengan pemikiran Nietzsche tentang Will to Power yang menggambarkan dorongan mendasar manusia untuk melampaui keterbatasan, mencapai kekuatan, dan menegaskan eksistensi mereka di dunia. Dalam konteks ini, pesugihan dapat dilihat sebagai ekspresi Will to Power masyarakat yang berupaya mengatasi keterbatasan sosial dan ekonomi dengan cara yang dianggap efektif. Praktik ini menjadi sarana untuk "mengambil alih" kendali atas takdir melalui kekuatan gaib, mencerminkan kehendak individu untuk melampaui batas-batas hidup mereka.
Pesugihan sering melibatkan penolakan terhadap nilai-nilai moral umum, mengutamakan kehendak pribadi di atas aturan sosial. Ini sejalan dengan pandangan Nietzsche tentang penciptaan nilai baru. Namun, Nietzsche mengkritik ketergantungan pada kekuatan gaib, karena Will to Power yang sejati harus berasal dari dalam diri. Di Bukit Surowiti, pesugihan mencerminkan usaha manusia untuk berkuasa, tetapi masih bergantung pada mitos dan kepercayaan supranatural.
Dalam konteks budaya dan masyarakat Indonesia, kepercayaan terhadap hal-hal mistis, termasuk pesugihan, masih cukup kuat di beberapa wilayah. Hal ini bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi, di mana masyarakat tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dianggap mampu memberikan solusi atas masalah-masalah kehidupan mereka. Di sisi lain, praktik pesugihan sering kali dianggap kontroversial dan bertentangan dengan ajaran agama, yang menyebabkan adanya dualisme dalam pandangan masyarakat terhadap praktik ini.
Berdasarkan penelitian mengenai kepercayaan masyarakat terhadap praktik pesugihan di Bukit Surowiti, fenomena ini umumnya berakar pada budaya lokal dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Praktik pesugihan tidak hanya membawa risiko besar bagi pelakunya, baik dari sisi spiritual maupun sosial, tetapi juga berpotensi mengganggu keharmonisan di tengah masyarakat. Kepercayaan terhadap pesugihan sering memunculkan rasa cemas, ketidaknyamanan, hingga kecurigaan antar warga, terutama karena adanya mitos terkait tumbal dan aktivitas gaib. Dalam perspektif Islam, pesugihan termasuk perbuatan syirik, yakni menyekutukan Allah, yang merupakan dosa besar dan bertentangan dengan nilai-nilai keimanan yang dianut mayoritas masyarakat Muslim di sekitar Bukit Surowiti.
Praktik pesugihan di Bukit Surowiti memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat, baik secara sosial, budaya, ekonomi, maupun religious. Secara sosial, kepercayaan terhadap pesugihan dapat memicu perpecahan dan stigma antar warga, menciptakan ketegangan dan isolasi. Selain itu, praktik ini berpotensi menjadikan Bukit Surowiti yang mula nya sebagai tempat ziarah, beralih menjadi destinasi mistis yang bisa merusak keharmonisan masyarakat dan pariwisata lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H