Panggil Abdi, kru pemasang tenda pameran luar, Jogja Expo Center (JEC), pada tukang sekoteng, saat malam. sudah menjelang dini hari. Saat waktu. Menuju saat pembukaan pameran perdana adalah saat-saat yang menguras stamina. Kami berlima bekerja lembur, memastikan kesiapan semua stan besok pagi, mulai kedinginan dan kelelahan.
"Pinten Mas?, " tanya tukang sekoteng tua, memastikan jumlah pesanan.
"Enam Pak , sekoteng-nya !, " Jawabku spontan sambil menghitung kru stan yang hadir saat itu dengan sudut mataku.
"Haah ?!, " Hampir semua heran dengan jumlah pesanan sekoteng , barangkali.salah. Lagi-lagi aku meyakinkan dengan. Mengangkat lima jari dan satu jempolku.
Tidak pakai lama pesanan wedang sekoteng datang diantar pakai nampan. Kami yang perlu doping kehangatan, duduk sekenanya dan mulai.menerima mangkuk berisi aneka rempah yang nikmat. Aku menenerima mangkuk. Kelima, masih ada satu mangkuk yang belum ada yang mengambilnya. Tetapi tak ada yang berani memgambilnya, buat nambah. Termasuk aku.
Tadi aku melihat sesosok tinggi besar, berambut gondrong dan ikut membantu membenahi stan, saat kuhitung. Sekarang relawan kru yang berbadan kuat tadi. Kini raib. Musnah.
Itulah wedang sekoteng ternikmat yang pernah kami nikmat, dengan fokus, nikmat, bulu roma berdiri dan tidak berani tolah toleh melihat kanan kiri lagi.
Momen menyeruput wedang sekoteng rame-rame bersama kawan nyata dan satu kawan gaib malam itu, saat pembukaan JEC, sungguh tak terlupakan, menggetarkan hati, Euy!
Jogja selalu bikin kangen kembali kesana lagi. Bali wae neng Jogja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H