Penulis sangat suka mengumpulkan ikan. Melihat bayi ikan, seperti emas, mujair,juga nila berlarian di genangan air, diantara tanaman padi yang tumbuh membesar, amatlah menyenangkan. Diantara gemericik air yang jatuh dari mata air ke air pancuran, memancar di bambu pancuran air, untuk bebersih diri. Ikan ikan mungil, ikan besar warna warni tumbuh besar alami di kolam kolam dengan air yang mengalir. Kemewahan ekologi yang sempurna. Sungguh kampung adalah surga ikan.
Bagaimana dengan di kota, apalagi di daerah sekitar ibukota ?Ada tiga belas sungai di DKI jakarta, kualitas airnya masih buruk, dan tidak subur buat ruang hidup ikan ikan yang beruma di dalamnya. Nah, ada sungai Cisadane yang melintasi tempat hidup penulis, yang pernah suatu waktu begitu sedikit ikannya. Ada rekan yang mencoba iseng mancing ikan di sungai tempat basecamp-nya. Tiga hari tiga malam hasilnya nihil, tak ada seekor mulut ikan pun yang tergoda mencicipi umpan di pancingnya
.Cerita itu dari mulut ke mulut sampai ke kami, lalu dengan semangat sukarelawan penyelamat bumi. Secara getok tular, kami bergerak menggugah para dermawan untuk menyumbangkan ikan jenis apa saja kepada Sungai Cisadane. Mulailah gerakan diam diam itu menuai hasilnya.Bila dulu permukaan Cisadane hanya dipenuhi kecipak ikan sapu sapu, pemakan lumut dan dikenal mampu hidup di sungai minim oksigen. Semakin kesini, semakin banyak kecipak ikan dari berbagai jenis. Sungguh menyenangkan.
Namun hobi mengangkut ikan diam diam, dari kolam pembudidaya, atau dari balai benih ikan, harus dipilah dipilih yang cukup umur, untuk bertarung di sungai yang tenang permukaannya, namun arus bawah airnya cukup deras. Biasanya yang penulis angkut adalah jenis nila, yang terbukti paling kuat melawan arus dan lingkungan yang ekstrim. Pada suatu kali, ada rejeki bisa membawa 4 ribu, bayi nila yang sebesar dua jari, lalu dilepas di Sungai Cisadane. Pada kali lain, hanya membawa bebarapa ratus benih ikan saja, lalu kami tebar di anak anak sungai Cisadane. Bisa sampai Rawa Cipondoh. Yang pending Rubin berkelanjutan.Mengingat terkadang ada pemancing, penjala, sampai tukang setrum ikan yang suka menghadang bayi bayi ikan mulai hidup, maka dipilihlah waktu yang tepat, malam hari. Agar saat ikan ikan lemah yang saja dipindah dari kolam pembenihan ke rawa yang luas. Cukup waktu beradaptasi. Kadang, penulis harus patroli malam selama sepekan pertama. Agar para pemburu ikan itu bisa diusir sementara sampai mereka besar nanti.
Bila esensi dari hobi koleksi ikan adalah mengumpulkan hewan lucu di satu ruang. Apa manfaat yang tidak terlihat, kasat mata. Ada kebahagiaan tak terperi saat melihat para pemancing berteriak gembira, mendapat ikan yang mereka buru, ditempat yang kita sebar benuh ikan.bukankah ikan tidak sekedar berkembang besar, tetapi juga beranak pinak. Bila buih, gelembung ikan banyak muncul, disertai kecipak ikan,sampai kadang ada yang lompat keluar. Ada kebahagiaan melihat koleksi ikan yang dilepas di sungai rawa lepas, berkembang baik.Ada satu momen, di pagi yang cerah, dan ingin penulis bagi disini. Saat sedang di tepi rawa, terkesima, melihat matahari terbit, mendekatlah penjaring ikan yang menaiki rakit bambu. Tanpa alasan yang khusus, penjaring itu menyerahkan belasan ikan nila merah, kuningnya, kepada penulis. Sudah besar besar, setelapak tangan. Hati siapa yang tak senang. Padahal penulis tak berceritaa, acap melepas bayi ikan disitu. Rupanya alam mengembalikan, bila kita membebaskan kolekso, ikan ikan yang kita sayangi, ke alam bebas
.Yuk, kita lepaskan, lebih banyak benih benih ikan, di rawa, sungai kecil,telaga, sungai besar sekitar kita,agar alam tumbuh liar, lestari !Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H