Menunggu jodoh jatuh tepat waktu. Mirip menunggu durian jatuh, setelah dinanti sekian bulan. Pada saat purnama, duren termatang, tak selalu jatuh. Padahal sudah ditunggu di bilik bambu penunggu. Tapi tak kunjung jatuh. Padahal liur sudah mengalir tak kunjung henti.
Krosak!
Buk!
Buk!
Dua duren matang terdengar jatuh dari ketinggian, justru saat malam gelap, tak ada bulan. Aku pun segera bersijingkat, mencari sumber suara, letak jatuh, buah kegemaran dewata itu. Saat senter hendak kunyalakan ada kilau kuning sepasang yang menatap tajam di. Kejauhan.
Aku tersedak.tercekat tak berani bergerak. Yang kuhadapi adalah macan kumbang hitam, mereka tergolong makhluk yang doyan melahap duren jatuhan.
Aku mematung siaga, sambil memegang senter di tangan kiri dan belati di tangan kananku. Kalau aku bergerak cepat, bisa jadi aku jadi santapan segar si kumbang yang lapar. Namun malam itu, raja hutan sedang menikmati duren jatuh pertamanya. Saat ia makan, mencabik kulit keras dure dengan rakisnya, suaranya berisik. Dan mengancam.
Bau aroma wangi buah khas itu menggelitik hidung. Tapi baru malam itu, aku kehilangan selera makan duren. Salah salah malam ini, aku justru jadi mangsa berikut si hitam, sang raja rimba.
Sebentar tapi terasa amat lama. Setelah suarw berisik berlalu. Kebun duren tepian hutan oembalo sepi sunyi. Semoga si liar hitam berbuntut panjang sudah kabur menjauh. Kuberanikan diri menyalakan senter. Kulihat satu duren besar terbelah hancur di mangsa, sementata satu. Duren lagi utuh. Mungkin dia sisakan untukku.
Malam itu aku berjodoh dengan duren jatuhan yang kutunggu, dan aku tak jadi santapan gratis, pemangsa liar yang kekenyangan makan duren tadi. Hmm, untung belum jodohnya, padahal aku sudah mandi keringat, celanaku punbasah, karena ngompol, ketakutan. Ampun!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H