Lihat ke Halaman Asli

gurujiwa NUSANTARA

pembawa sebaik baik kabar (gurujiwa508@gmail.com) (Instagram :@gurujiwa) (Twitter : @gurujiwa) (Facebook: @gurujiwa))

(Dari Cerita Nyata) Ono

Diperbarui: 12 Oktober 2020   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ini Kopi wamena kiriman paman kemarin ya?" tanya Ayah sambil menyeruput kopi tubruk bikinanku. Sambil tangan kirinya mengusap rambut kritingnya. Gerakannya khas, kalau sedang senang.

Aku menganggukkan kepala, hendak melangkahkan kaki keluar, main dengan teman-teman rencanaku.

"Mau ke mana kamu Ono?" tanya Ayah lembut, santai berbeda dengan gaya orang Indonesia timur yang bergegas. Seperti dihipnotis
Aku duduk menuruti perintah matanya.

"Kamu sudah balek, sudah kelas lima. Salah kalau ayah tidak bicara sebenarnya. Intinya Ayah sayang sekali sama kamu Nak, tapi Ayah harus buka rahasia ini. Demi kebaikanmu. Kamu siap?" tanya Ayah menyelidik menatap mataku dalam-dalam.

Aku hanya menelan ludah. Tertegun mencoba menerka arah bicara Ayah. kalau sudah begini aku hanya bisa mengelus rambut lurusku, mirip kebiasaan orang yang paling kuhormati.

Ayah menyeruput kopinya sampai hampir habis. Beliau penikmat kopi, biasanya berlama-lama, tidak cepat menenggak habis. Rupanya percakapan penting ini membuat pria tegar ini, haus batin.

Ruang tengah rumah kami yang demikian luas, pelan-pelan menyempit, kami begitu fokusnya. Intim. Tali rasa kami, selaku Ayah dan anak bergetar keras, tidak seperti biasanya.

"Ono, setelah Ayah bicara apa adanya, Ayah iklas, bila akhirnya kamu masih sayang atau tidak. Ini pilihan hidup, Ayah tidak bisa menyimpan rahasiamu terlalu lama. Sebagai laki-laki kita harus bertanggung jawab dan menanggung resiko." Urai Ayah tegar.

"Maksud Ayah, Ono ada salah?" tanyaku menahan rasa. Aku tidak suka percakapan yang melelahkan jiwa begini.

"Tidak, Ayah meluruskan sejarah saja. Ono, anakku... sebenarnya Aku bukan ayah kandungmu.." papar Ayah dengan mata berkaca-kaca, belum pernah aku melihat ayah begitu penuh perasaan. Seperti ada bunyi petir menggelegar, meledak di tengah ruang rumah kami. Aku gugup. Spontan kupegang gelas kopi Ayah dan kuminum.

Tawa Ayah meledak, melihat tingkahku yang seperti komika pelawak tiba-tiba. Melihat Ayah tertawa. Aku pun ikut tertawa getir. Suasana berubah cair, walau kemudian Ayah menyampaikan berita kebenaran tentang jati diriku sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline