Jemari Enyak paruh baya sakti ini masih lentik dan gemulai. Kuku panjang di jempolnya, dan kuku-kuku jemarinya lainnya terawat putih bersih. Mengkilap, seperti habis dirawat meni-pedicure di salon tengah kota.
Padahal kami berada di kaki gunung, pelosok blamkspot. Jauh dari pancaran sinyal HP dan pantauan satelit GPS - Global Positioning System. Jadi sudah tidak ada yang bisa mencari jejakku lagi.
Bulu romaku merinding, dadaku dag dig dug berdebar keras, di bawah sadarku, aku semakin khawatir juga dengan keselamatan diriku.
Menyesal, aku memutuskan keluar dari camping ground di dataran sisi bukit sebelah, tanpa lapor kakak pembinaku.
"Ayo, dimakan, Enyak sudah lama nggak makan darah kelelawar digoreng setengah matang begini. Ini enak, bisa bikin kamu hangat dan kuat lagi Cah Bagus", rayu Enyak bermuka cantik, make up-nya super tebal menghipnotis keluguanku.
Dengan rasa kedinginan yang menggigilkan tulang, dan rasa putus asa karena tersesat kehilangan arah tadi. Satu-satunya rumah kayu tua yang kutemukan adalah rumah Enyak baik hati ini.
Dia jerangkan air kopi panas dan darah goreng setengah mentah, setengah mateng. Kenapa harus darah sih, apa tidak ada makanan lain, pisang goreng misalnya, batinku keras.
Enyak itu seperti membaca pikiranku, tapi dia tak memperdulikannya. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia langsung menyuapi cemilan aneh ke mulutku, walau rasanya ganji. Ternyata benar, membuatku hangat dan tersadar penuh.
Perlahan kuperhatikan, Enyak cantik ini memiliki gigi taring yang keluar dari bagian atas gusinya, pelan-pelan memanjang keluar dari bibirnya, terus memanjang sampai dagu.
Ah, apakah Enyak, satu-satunya perempuan yang kutemui di rimba perawan ini, penyihir, ataukah ratu drakula, bisa juga hantu, aku tak paham benar. Tapi dia mulai membuka mulutnya lebar-lebar. Bengis, semakin bengis.
Mendadak aku ingat mantra lepas jeratan makhluk gaib di hutan, yang diajarkan kakak pembinaku, saat di awal kemah. Lalu aku teriakan begitu saja.