Raden Ajeng Kartini mungkin hidup di masa yang berbeda, tetapi perjuangannya untuk kesetaraan masih terasa sangat relevan di era sekarang. Di tengah maraknya isu kesenjangan upah, keterwakilan perempuan di posisi kepemimpinan, serta stigma terhadap perempuan yang memilih jalannya sendiri, semangat Kartini mengingatkan kita bahwa perjuangan belum usai. Di zaman digital, di mana suara perempuan bisa menggema lebih luas namun seringkali juga dihantam oleh bias dan perundungan daring, kisah Kartini menjadi panggilan bagi kita semua.
Berdasarkan buku yang berjudul "Gelap-Terang Hidup Kartini", R.A. Kartini melakukan surat-menyurat dengan beberapa orang Belanda, seperti Estelle Zeehandelaar, J.H. Abendanon dan istrinya, Rosa Abendanon, yang menjadi sahabat sekaligus pendukung pemikiran Kartini. Dalam suratnya, mereka saling bertukar perspektif dengan membandingkan kondisi sosial, pendidikan dan kehidupan perempuan di Indonesia dengan di Belanda. Perbedaan mencolok antara dua negara ini menimbulkan refleksi mendalam bagi Kartini tentang nasib perempuan pribumi.
Surat-surat ini, yang kemudian dikumpulkan dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" (Door Duisternis tot Licht), tidak hanya memberikan gambaran tentang pemikiran Kartini tetapi juga menyuarakan harapan akan munculnya perubahan sosial.
Dari kumpulan surat Kartini yang berjumlah 114 buah dalam buku terjemahan Sulastin (1979) dapat disimpulkan apa yang dimaksudkan Kartini dengan cita-citanya, yaitu, misalnya penghapusan tradisi dipingit, tradisi kawin paksa, tradisi poligami dan tradisi dibodohkan. Keempat isu tersebut dialami semua oleh Kartini dan memberi bekas luka cukup dalam yang dianggap sebagai pembodohan terhadap wanita.
Pemikiran R.A. Kartini
Kartini menghendaki terjadinya modernisasi dalam pola pikir dan perilaku wanita Jawa, yaitu wanita yang "berani hidup, dapat menentukan kehendaknya, riang dan gembira, bersedia berbuat sesuatu untuk masyarakatnya, tidak mementingkan diri sendiri..." (Surat untuk Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
Ketika beliau juga mampu masuk ke dalam alam pikiran rakyatnya dan dirinya sendiri, Kartini sampai kepada kesimpulan, bahwa strategi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah dengan sengaja membiarkan rakyat Jawa bodoh dalam arti tidak memberi kesempatan untuk memasuki alam pikiran Belanda, utamanya kalangan bangsawannya, agar mudah diperdaya oleh kekuasaan yang akan mengeksploitasi mereka.
Rakyat Jawa tidak boleh dibiarkan melarat lagi, oleh karena itu harus dicerdaskan dengan terlebih dahulu mencerdaskan kehidupan para bangsawan (Nota Kartini, 1903; Sulastin, 1979:193). Kartini berpendapat, bahwa ada dua unsur penting yang harus dibangkitan terlebih dahulu, yaitu para bangsawan yang akan membawa rakyat kepada kemajuan dan kaum wanita yang harus mendidik anak-anaknya, agar kelak menjadi pendidik yang baik pula serta menjadi pemimpin masyarakat yang handal (Nota Kartini, 1903). Oleh karena itu, wanita pun tidak boleh bodoh yaitu hidup tanpa cipta dan nalar.
Perubahan betapa sedikit pun perlu persyaratan yang memberikan kemungkinan perubahan itu terjadi. Kartini mengatakan, bahwa tanah yang sudah terlebih dahulu digemburkan akan lebih mudah menerima benih untuk tumbuh subur (Sulastin, 1979:350). Demikian pun dengan masyarakat yang perlu mengalami perubahan. Masyarakatnya perlu disiapkan, karena umumnya yang baru akan berhadapan dengan yang lama (Sulastin, 1979:365). Oleh karena itu, Kartini melihat, bahwa yang perlu "digemburkan" pada masyarakat Jawa adalah jiwanya, yang pada saat itu 'tumbuh' mental rendah diri. Oleh karena itu, setiap orang Jawa yang memiliki kemauan serta kesanggupan harus diberi kesempatan. ltulah sebabnya Kartini berambisi mengemansipasikan rakyat Jawa dan wanitanya untuk mengimbangi mental rendah diri mereka.
Pengaruh Pemikiran dan Surat-Surat R.A. Kartini Terhadap Dinamika Sosial Perempuan di Jawa