Saat menjadi guru Bahasa Inggris di Madrasah Aliyah Muhammadiyah 2 Kisaran, sekira tahun 2008, aku memberikan ilmu tak hanya tentang Bahasa Inggris saja. Kuajari anak-anak itu dengan ilmu lain, ilmu komputer. Belajarnya tak di sekolah.
Setiap hari Ahad pagi kuminta kesepakatan dari mereka yang mau ikut. Di warnet namanya. Kepanjangan dari Warung Internet. Saat itu, satu-satunya warnet yang belum terkontaminasi dari ramainya anak-anak remaja bermain 'game online' sepengetahuanku cuma 'Warnet Kartika'. Warnet ini langganan untuk mencari ilmu serta tempat aku ber-semedi untuk mengirimkan tulisan-tulisan ke media koran dan majalah nasional.
Aku tak minta pembayaran dari aktivitas yang kulakukan. Hanya prihatin saja, sebab saat itu aku hanya berprediksi bahwa sekian tahun ke depan, teknologi sudah tak dapat dihindarkan. Sementara, di madrasah, saat kutanya anak-anak, tak pernah belajar ilmu komputer, belum ada komputernya. Begitulah, keberadaan komputer di sekolah tempat aku mengajar masih mahal adanya.
Di warnet kartika, kuajari mereka cara menggunakan email, mengirimnya, dan ilmu-ilmu dasar lainnya yang aku tahu. Lantas biaya warnetnya, anak-anak itu yang tanggung. Saat itu sekitar 3.000 perak per jamnya. Maka, aku minta mereka bagi dua untuk biayanya. Walhasil, setiap minggu pagi, seluruh unit komputer di Warnet Kartika itu penuh oleh kami saja.
Begitulah caraku belajar dan memberi ilmu. Meski gaji tak seberapa saat mengajar sebagai guru honor, tetap aku harus memberikan yang terbaik. Mengapa kusebut tak seberapa, tentu tak hanya bahasa Inggris yang ku ampu, di sekolah berbeda aku mengajar kewirausahaan, serta kesenian, bahkan Bahasa Indonesia.
Dari pagi hingga petang, dari Senin hingga Sabtu, honor yang diperoleh tetap memeras kekhawatiran. Belum lagi dipotong biaya kemalangan, kesakitan, dan kebahagiaan, setiap bulan, dan dari setiap tempat yang berbeda itu, ada pula potongannya. Memang seharusnya bahagia untuk berbagi, tapi apalah daya, masa itu honor yang ala kadarnya, rasanya menyesakkan dada, menjelang teken amprah, yang diterima tak seberapa. Sekedar kepengen teh manis dingin dari kantin pasca mengajar saja, tak berani untuk dibeli. Aih..
Alhamdulillah, sekarang kulihat teman-teman yang telah lama jadi guru, sarat kebahagiaan. Bahkan sudah banyak yang jadi pejabat seperti kepala sekolah.
Kembali ke pelajaran gratis ilmu komputer yang kupelajari secara otodidak itu, tentu menjadi catatan baik bila kubagikan secara percuma. Anak-anak terlihat antusias. Bahkan aku belajar banyak pula dari mereka. Salah satunya adalah saat aku mengenalkan sama mereka media sosial Friendster. Padahal, masa itu sudah mulai mellep/redup. Tak apelah dari pada media sosial mIRC yang sudah lebih jadul. Nah, yang kenal dengan dua media sosial di atas, berarti...?
"Pak, gimana cara buat FB?" Tanya salah satu siswa perempuan.
"Apa itu FB?" tanyaku
"Ish, masak Bapak ga tahu, facebook Pak!".