oleh: Saufi Ginting
Tiga tahun berlalu, kerinduan itu muncul dan redup silih berganti, seiring jalanan terjal yang menggulung dada hingga menua pula. Doa semestinya bukanlah yang sisa terkulum sirna. Doa semestinya yang mengungkit rindu dalam setiap masa. Biarlah masa menggelinding pada dinding kering di hati, tapi tak boleh doa pula mati. Bangkitlah dengan segenap wanti-wanti, segenap bunyi yang mendentum hingga membumi, menyusup sanubari.
Pada setiap kenangan, dari setiap lekukan tulang yang serupa kulitmu itu, aku bersedih, dadaku melilit, kuelus dengan paksa, agar menjadi doa, menjadi doa, dan tetap doa di dada.
Meski masa tetap saja menggelinding tak karuan yang terengkuh atas setiap getarnya. Tetap saja pola apa pun yang tak berpola itu, menjadi catatan dari pemilik segala catatan atas riuh waktu yang telah berlalu. Aku mengenang, dengan catatan, meski umpatan berkelindan, sebab doa pun kurasa masih tak bernampan. Tapi tak bolehlah aku ter-terminasi, di gelindingan dinding yang sunyi.
Kisaran, Rumah Azka.
30 April 2020-30 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H