Penulis: Syamsul Yakin selaku Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Azka Millati Putri selaku Mahasiswi BPI 2C
Dakwah dapat dikatakan suatu ilmu apabila bersifat empiris. Artinya dihasilkan melalui proses penelitian (baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan).
Dakwah disebut juga ilmu bila diperoleh melalui proses pengamatan (individu atau kelompok) dan percobaan berulang-ulang untuk menghasilkan suatu konsep.
Selanjutnya ilmu dakwah harus sistematis dan terorganisir dengan pola pikir ilmiah yang obyektif, yang memudahkan semua orang untuk belajar.
Oleh karena itu, ilmu dakwah harus menggunakan metode yang terencana dan diterapkan secara permanen. Selain itu, untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh dan tepat, perlu diuraikan secara akurat pokok-pokok dan bagian-bagian Ilmu Dakwah untuk mengetahui hubungannya.
Ilmu dakwah juga dikatakan harus analitis. Ilmu Dakwah juga harus objektif. Ini berarti tidak memihak dan tidak memihak.
Dakwah hanya bisa disebut ilmu jika didasarkan pada fakta dan bukan fiksi atau emosi. Lebih lanjut, objektif dalam konteks ini berarti tidak terpengaruh oleh pandangan internal.
Ilmu Dakwah harus dapat diverifikasi atau dibuktikan. Artinya konsep dan teori yang diajukan didukung oleh fakta. Dengan kata lain, kebenaran ilmu dakwah dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan fakta dan data yang ada.
Dakwah bisa disebut juga ilmu jika didekati secara kritis. Artinya ilmu dakwah muncul dari suatu proses mendalam yang memerlukan analisa dan evaluasi yang cermat. Berpikir kritis merupakan cara berpikir ilmiah yang sesuai dengan ilmu dakwah.
Selanjutnya ilmu dakwah harus mengikuti kaidah ilmu. Artinya ilmu dakwah dikonstruksikan sebagai suatu disiplin ilmu yang sistematis, obyektif, rasional, dan empiris.
Terakhir, ilmu dakwah harus logis. Artinya ilmu dakwah harus sesuai dengan logika dan argumentasinya harus benar dan masuk akal.