Lihat ke Halaman Asli

Mencari Kepemimpinan Umat?

Diperbarui: 23 Februari 2017   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Pak Natsir, salah seorang pemimpin umat Islam pada masa lalu, yang dijuluki oleh Moh. Roem sebagai "the Spiritual Leader". Adakah lagi kini sosok seperti dirinya?)

Beberapa waktu lalu ada pesan-pesan yang terbesar lewat media sosial tentang ajakan mengangkat seseorang menjadi Imam Besar Umat Islam. Tetapi sepertinya responnya tidak cukup positif. 

Namun membuat saya bertanya, sebenarnya kepada siapa kepemimpinan umat ini dapat kita berikan? Sedangkan para ulama yang kita hormati, sepertinya sulit untuk menjangkau kepemimpinan di luar urusan keagamaan. Para pemimpin partai-partai Islam juga belum diakui sebagai pemimpin umat. Ada pula pemimpin yang mumpuni menjalankan roda negara, dan memiliki kepedulian terhadap umat meski mungkin pengetahuan agamanya tidak mendalam, tetapi masih dianggap belum mencukupi menjadi pemimpin umat. Ada apa? Saya pikir di sini ada persoalan legitimasi, yang nampaknya tidak mudah.

Kepemimpinan umat sepertinya memerlukan oleh seseorang yang mempunyai kualitas-kualitas leadership dan pengetahuan-pengetahuan persoalan dunia yang mencukupi, tetapi di saat bersamaan juga memiliki pengetahuan agama, kualitas ibadah, dan akhlakul karimah yang baik pula!

Kita dapat melihat dalam sejarah, bahkan pemimpin sekelas H.O.S Tjokroaminoto, sang “raja tanpa mahkota” ini saja mengalami kesulitan menghadapi tantangan ini. Deliar Noer (1980) dalam bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” mencatat bagaimana Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, partai yang begitu besar dan menjadi (atau saat itu sedang berusaha mempertahankan) wakil umat Islam satu-satunya pada saat itu dalam politik, harus mengalami pertikaian dan bahkan bercerai dengan kelompok Muhammadiyah, yang saat itu tergabung menjadi organ dalam Sarekat Islam. Dan itu karena persoalan legitimasi: “Pertikaian antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah mulanya terbit tahun 1926. 

Pada tahun itu beberapa orang tokoh Muhammadiyah, termasuk tokoh daerah, pergi naik haji ke Mekkah. Ketika itulah mereka kecewa melihat kekurangan-kekurangan Tjokoraminoto (yang bersama Kiyai Mas Mansur pergi ke Tanah Suci untuk menghadiri Kongres al-Islam) dalam melaksanakan ibadah, suatu hal yang tidak mereka duga terdapat pada pemimin besar itu: pemimpin Sarekat Islam tersebut banyak meninggalkan sembahyang selama berada di Mekkah; ia sering absen dari sidang-sidang kongres; dan ia mengalami kesukaran dalam mengikuti sidang yang diselenggarakan dalam bahasa Arab, bahasa yang tidak dikuasainya. Tambahan lagi, terdengar pula desas-desus bahwa ia menyelewengkan dana delegasi. Sedangkan tingkah laku isterinya yang dibawahnya serta ke Tanah Suci itu, kata orang-orang Muhammadiyah tersebut, sangat mengecewakan.”

Padahal, dijelaskan dalam buku yang sama, Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang kemampuan kepemimpinan dan berorganisasi yang sangat luar biasa, hingga dijuluki Gatotkoco Sarekat Islam. Sebelum ia datang, Sarekat Islam tidak begitu besar dan belum memiliki arah organisasi yang jelas. Tetapi saat Tjokrominoto bergabung dan diangkat sebagai pemimpinlah, yang hingga akhir hayatnya tidak tergantikan, Sarekat Islam mampu menjadi partai terbesar saat itu dan sempat menjadi satu-satunya wakil umat Islam. Namun sayang, diakhir waktu pertikaian-pertikaian tidak dapat dihindarkan, yang salah satunya karena soal satu itu: legitimasi kepemimpinan umat.

Dan pertikaian soal legitimasi kepemimpinan umat yang menimbulkan perpecahan besar tidak terjadi sekali itu saja. Simak misalnya perpecahan yang terjadi antara NU dan Masyumi pada tahun 1952, yang mana Masyumi saat itu layaknya Sarekat Islam, merupakan satu-satunya wakil umat Islam dalam politik. 

Posisi yang lantas berakhir, dan berarti berakhir pula persatuan umat dalam berpolitik, semenjak NU memutuskan keluar dan membentuk partai sendiri. Dan salah satu penyebabnya utamanya, tidak lain tidak bukan soal legitimasi kepemimpinan umat! Itu yang menjadi pendapat Nurcholish Madjid, dalam salah satu surat yang ia tuliskan kepada Moh. Roem, salah seorang tokoh Masyumi, pada 1983: “Pak Roem, itulah sebuah lukisan tentang persoalan legitimasi politis-ideologis di kalangan umat. Ternyata sebenarnya tidak sederhana. Karena itu gampang menimbulkan bentrokan. 

Berdasarkan pandangan tradisional pesanten, saya tidak bisa menyetujui penilaian bahwa NU keluar dari Masyumi dulu iu adalah karena vested interest ingin memegang Kementerian/Departemen Agama. Perkaranya menyangkut masalah legitimasi itu. Dari sudut pandang dunia pesantren, para tokoh intelektual Masyumi adalah, seperti kata paman saya tadi, tidak lebih dari wong sekolahan, yang tidak berhak mimpin umat Islam! Karena itu mereka menganggapnya persoalan yang amat serius.”

Ini betul memang tidak sederhana. Jika wong pesantren menganggap wong sekolahan tidak pantas mimpin umat, maka sebaliknya, wong sekolahan pun menganggap wong pesantren tidak pantas mimpin umat dikarenakan dianggap tidak mumpuni menangani persoalan-persoalan duniawi, sebagaimana dulu Masyumi, seperti yang disinggung Cak Nur, menggunakan hadist Bukhari “Jika urusan diberikan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” sebagai bahan ajakan agar umat Islam memilih Masyumi ketimbang “bintang sembilan”.

Cak Nur pun melanjutkan surat itu dengan bertanya-tanya: “Siapakah sebenarnya yang mempunyai legitimasi politik, secara dokrtrin Islam, di kalangan umat? Apakah legitimasi politik itu menjadi satu dan tak terpisahkan dari legitimasi keagamaan? Kalau menjadi satu, bagaimana, dan kalau terpisah, juga bagaimana? Apakah di zaman modern ini seorang setengah tambah setengah, yakni yang mempunyai setengah pengetahuan umum (modern) dan setengah pengetahuan agama, lebih mempunyai legitimasi daripada seorang yang satu tambah nol, yakni yang mempunyai pengetahuan umum secara mesisan tanpa pengetahuan agama, atau yang mempunyai pengetahuan agama, juga secara mesisan, tapi tanpa pengetahuan umum? Lalu bagaimana “pengalamam” umat sepanjang sejarahnya?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline