Hidup sebagai pencabut nyawa, atau grim reaper menurut panggilan orang-orang sekitar, begitu monoton. Tidak jarang aku harus menghadapi keluarga yang berduka, jiwa yang enggan untuk ku cabut nyawanya, jiwa yang sudah pasrah atas kematiannya dan hal-hal berbau kematian lainnya. Disaat mereka dibungkus kain kafan dan di kembalikan di bumi banyak dari mereka berteriak dan meminta agar dikeluarkan. Tapi sudah telat. Mereka tidak percaya pada karunia Tuhan. Mereka terlalu dramatis dan terlalu cepat mengakhiri hidup. Itu lah balasannya, kiamat kecil bagiku, neraka baginya.
Sebaliknya, ada juga orang-orang yang berterima kasih telah dikembalikan di bumi. Kuburan mereka diterangi cahaya dan mimpi bagus menyertai tidur lamanya. Mereka orang-orang yang sabar menghadapi ujian kehidupan. Orang yang kuat imannya, orang yang percaya dengan nikmat dan karunia Tuhan yang akan datang. Mereka semua akan mendapat balasan yang layak suatu hari nanti. dan hari itu adalah hari dimana aku datang berkunjung dan di hari saudaraku meniup sangkakala.
Hari ini tugasku adalah berkunjung ke Miami, sebuah kota di Florida. Lebih tepatnya South Dade, pedesaan yang tentram dan damai. Sayangnya, aku tidak terlalu memahami emosi manusia. Emosi yang aku kenal dekat hanya emosi marah, duka, sedih, depresi, dan banyak emosi lainnya yang berhubungan dengan suramnya kematian. Aku tidak bisa memahami mengapa manusia begitu bahagia dengan indahnya dunia. Apakah itu karena aku sudah melihat indahnya surga? Apakah karena itu dunia ini terasa seperti kerikil dibandingkan dengan mewahnya surga? Mungkin.
Akhirnya aku sampai di ujung jalan. Sebuah rumah kecil dengan taman yang dirawat dengan baik. Aku melewati dinding dengan mudah dan bertemulah aku dengan seorang nenek. Orang yang akan mati bisa melihatku dan respon mereka kurang lebih sama. Horor dan pasrah. Tetapi nenek ini hanya tersenyum. Seperti aku adalah anaknya yang datang berkunjung untuk minum teh.
"Anda datang awal."
"Apakah anda tidak takut padaku?" Tanyaku.
"Tidak, mengapa aku harus takut? Kau hanya melakukan kewajibanmu. Pasti susah menghadapi orang-orang yang enggan untuk mati. Aku tidak mau menambah bebanmu." Jawabnya tulus.
"Aku menghargai usahamu, tapi tidakkah kau merasa sedikit khawatir dengan apa yang akan menunggumu di alam kubur nanti?"
"Mengapa aku harus khawatir? Aku akan dikembalikan kepada Sang Pencipta yang ingin sekali ku temui. Aku seharusnya bahagia anda datang awal."
"Bagaimana dengan keluarga anda? Anak anda, suami anda, orang tua anda, saudara anda? Bagaimana dengan mereka? Tidakkah kau merasa sedih jika mereka berlarut-larut dalam kesedihan?"
"Ah iya, keluargaku. Sejak anakku pergi merantau ke luar negeri, sudah jarang dia datang berkunjung. Tapi tidak mengapa, aku paham. Anak muda sepertinya dan dunia besar yang menarik untuk mata. Dia pasti berambisi menjelajahi seluruh pelosok dunia dan mempelajari hal yang baru. Dia anak yang baik dan mudah tertarik dengan hal baru. Aku tidak akan menghalanginya mengejar impiannya. Aku harus bersyukur dia bisa tumbuh dewasa dengan sehat." Nenek itu menyeka air mata yang keluar dari matanya. "Tapi tentu, aku ingin dia menemaniku di saat-saat seperti ini."