Eksistensi seorang guru adalah sebagai pelita bagi dunia, cahanya menerangi kegelapan di sekelilingnya, menjadi penuh arti ketika memaknai sebuah cahaya di tengah kegelapan. Cahaya merupakan penerang yang sebelumnya tidak ada artinya jika kegelapan itu sendiri tidak berwujud, begitu pula kegelapan akan tidak ada artinya ketika cahaya tidak berwujud. Dimana pelita itu diletakkan, maka disitulah cahaya akan menerangi kegelapan, guru sebagai pelita memberikan pencerahan, manfaat, dan menerangi kegelapan seorang murid.
Guru akan selalu memberi manfaat ketika dia mengetahui bagaimana, seperti apa dan dimana posisinya berada, namun bukan berarti guru harus selalu mendoktrin warna yang dia sukai, kemudian mengharuskan muridnya untuk menyukai warna tersebut, memati-rasakan warna yang disukai oleh murid dan memaksanya untuk menelan mentah-mentah agar memperoleh cara pandang sama dengannya. Jika yang terjadi demikian, justru bukan memberi manfaat bagi seorang murid, melainkan membutakan seorang murid yang fitrahnya sudah memiliki warna dasar yang disukai .
Seyogyanya, seorang guru berpandangan luas terhadap segala sesuatu yang dihadapinya, menjelaskan yang tidak jelas dan memperjelas yang kurang jelas, memberitahukan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui sehingga menjadi pengetahuan yang baru bagi seorang murid dan wawasan baginya, sehingga dikemudian hari dapat bermanfaat dan dapat dikembangkan oleh sang murid. Berpandangan luas dalam artian bahwa guru harus memahami karakter dan latar belakang seorang murid, tidak semua yang ada pada murid sama dengan apa yang ada pada benak guru, kebijaksanaan dalam menyikapi hal yang demikian ini akan menjadi proses bagi seorang guru untuk memberikan warna yang jelas sesuai dengan kapasitas murid-muridnya.
Pelita memberikan cahaya agar kegelapan sekelilingnya terbuka dan yang sebelumnya tidak terlihat maka akan nampak jelas, jalur luruskah? bergelombangkah? berwarna hijaukah? atau lain sebagainya. Manfaat dari pada cahaya tersebut menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah ada namun kemudian diperjelas oleh cahaya tersebut menjadi dalam keadaan yang utuh. Begitu halnya dengan kehadiran seorang guru yang bijaksana tidak akan memberikan sesuatu yang sifatnya memaksa, karena sama dengan ilustrasi di atas bahwa, seorang murid mempunyai fitrah yang terbentuk oleh latar belakangnya, sehingga mempengaruhi cara pandang dalam menyikapi permasalahan.
Murid mempunyai cara berfikir yang sederhana, namun kental akan pengaruh dari latar belakangnya, tugas seorang guru disini adalah memperjelas dan memberikan wawasan yang bersifat komprehensif, memperluas pemahaman dan mengkonsepsikan kemana arah pemikiran yang dibangun oleh murid.
Ketika pemikiran yang dikonstruksi sesuai dengan latar belakang yang mempengaruhi cara pandang murid tersebut, maka akan menghasilkan sebuah pemikiran yang tepat dan jitu sesuai dengan target. Dan guru dikatakan berhasil ketika dia dapat mengembangkan pengetahuan muridnya, namun akan dikatakan kurang profesional ketika dia hanya memberikan dogma yang dikristalkan dan ditelan mentah-mentah oleh murid.
Disamping menyelami pemahaman seorang murid, guru sendiri akan terdidik dan bertambah pengetahuannya, secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap khazanah keilmuan dalam menentukan cara pandang dan bagaimana bersikap.
Oleh karena itu, mengharuskan murid untuk memilih warna tanpa ada pilihan adalah tindakan yang kurang tepat bagi seorang guru, karena seharusnya guru menyadari keberagaman murid dan mempunyai pandangan yang luas, tidak menggunakan pandangan picik dalam memberi manfaat bagi peserta didiknya, walaupun niatnya baik tapi caranya kurang tepat, maka tidak akan tersampaikan dengan efektif. Seorang guru tidak akan berbuat demikian karena guru adalah pelita umat sepanjang zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H