Upaya transformasi ke kendaraan listrik telah dikebut oleh pemerintahan Indonesia. Beberapa negara lain yang masuk keanggotaan G20 juga berbondong-bondong meninggalkan kendaraan berenergi fosil. Mereka mengupayakan penyelamatan bumi dengan energi yang ramah lingkungan.
Berbagai kebijakan telah mereka buat dan inovasi di bidang kendaraan listrik telah tumbuh di pasar internasional. Tidak luput pula baterai sebagai penyimpanan listrik dibuat seefisien mungkin dan mempermudah fasilitas dengan pembangunan stasiun pengisian baterai.
Label kendaraan bebas emisi digaungkan untuk menarik minat masyarakat dan menarik pengusaha agar menginvestasikan demi keuntungan yang besar di masa depan. Bisnis di bidang ini memang sangat menguntungkan karena berbagai negara telah mendukung rencana transformasi kendaraan.
Upaya ini memang patut diapresiasi karena ketergantungan bahan bakar fosil bisa dikurangi. Transformasi kendaraan listrik akan membantu mengurangi emisi karbon karena energi listrik dari baterai akan diubah menjadi energi kinetik untuk menggerakkan roda. Cara kerjanya mirip dinamo pada mobil mainan.
Sedangkan pada mobil konvensional, akan terjadi proses pembakaran bahan bakar yang nantinya menjadi gas panas. Gas ini yang berperan menggerakkan piston menuju bagian dalam silinder. Proses ini yang dijadikan tenaga agar mobil bisa bergerak. Karena melalui proses pembakaran maka akan menghasilkan emisi yang mencemari lingkungan.
Klaim kendaraan listrik lebih ramah lingkungan kenyataannya hanyalah sebuah ilusi, karena pembangkit untuk memproduksi listrik masih menghasilkan emisi karbon yang tinggi.
Pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi tenaga uap berbahan bakar fosil seperti batu bara. Emisi dari pembakaran batu bara menyumbang karbon dioksida terbesar dibandingkan energi fosil lainnya.
Di Eropa memang telah mengurangi batu bara dan menggunakan gas alam untuk menghasilkan listrik. Gas alam menghasilkan emisi lebih rendah 25% dibandingkan batu bara. Namun tetap saja, bila digunakan untuk kendaraan listrik secara tidak langsung menghasilkan emisi karbon yang merusak lingkungan.
Penggunaan PLTA atau PLTS untuk memasok listrik memang tanpa resiko emisi karbon. Hanya saja memiliki kekurangan karena tergantung kondisi cuaca dan iklim. Listrik yang dihasilkan juga tidak stabil dan beresiko kekurangan pasokan listrik jika terlalu mengandalkan pembangkit tersebut.
Adapun ide muncul menggunakan pembangkit listrik panas bumi atau PLTP. Sayangnya ini juga bukan pilihan bagus. Menggunakan panas bumi berarti melakukan pengeboran untuk mendapatkan lokasi sumber panas bumi. Cara kerja panas bumi sebagai pembangkit listrik yakni digunakan untuk memanaskan ketel uap sebagai penggerak turbin.
Memang PLTP tidak perlu bahan bakar untuk menggerakkan turbin. Tetapi di dalam bumi tersimpan berbagai gas seperti karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), metana (CH4), dan amonia (NH3). Gas itu akan keluar bersamaan dengan panas bumi sehingga PLTP juga menghasilkan emisi karbon dalam memproduksi listrik.