Lihat ke Halaman Asli

Nasionalisme Tionghoa dalam Revolusi Indonesia

Diperbarui: 1 Maret 2019   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak soekarno lahir hingga ia meninggal dunia, banyak sekali pengalaman pengalaman yang ia tempuh, salah satu penyebabnya ialah soekarno tumbuh seorang nasionalis yang menghargai perbedaan suku dan budaya. Soekarno tumbuh dalam masyarakat jawa yang di dalamnya terdapat kehidupan berbagai macam spesies binatang dan tumbuh tumbuhan, juga spesies yang telah terbiasa melihat berbagai bentuk kebiasaan dan tampilan fisik manusia.

Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, pada saat fajar menyingsing, karena itu pulalah ia sebut sebagai Putra Sang Fajar. Ia adalah anak kedua dari bapak dan ibunya. Kakak soekarmini, lahir dua tahun sebelumnya. Jika di lihat trahnya, soekarno dan kakaknya masih keturunan bangsawan. Ibunya, Idayu kelahiran Bali dari kasta Brahmana, sedangkan bapakanya, Raden Sukemi Sosrodihardjo.

Seiring berjalannya waktu Bung Karno,semakin tumbuh dengan pemikiran yang semakin diisi pengalaman pengalaman, bersentuhan dengan pemikiran dan cita cita kemerdekaan, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 memberikan pidato yang kelak di terima sebagai dasar Negara Pancasila hingga kini. Ajaran pancasila berisi pemikiran yang terdiri dari nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, keadilan social, dan Ketuhana Yng Maha Esa. Pancasila memayungi pluralism kepercayaan dan kebebasan beragama. Pancasila menjamin hak asasi manusia.

Tindakan kekerasan dan mengancam hak orang lain dilarang dan tindak secara hukum. Pancasila menyokong sistem demokrasi. Kita bisa berdebat dan berdiskusi mengenai masalah apa saja, ketika kita berdebat dan bediskusi, kita tidak akan di hukum, tak akan bias dijerat undang undang apapun. Bahkan, belajar dan berserikat, berorganisasi, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan pikirab di jamin undang undang.

Pancasila menyokong freedom of information, yang terdiri dari kebebasan mendapatkan informasi dan kebebasan memberikan informasi. Hingga kini, rumah pancasila kita. Pancasila mendewasakan kita. Dengan di jaminnya ruang untuk berinteraksi, kita punya kesempatan untuk belajar dewasa.
Singkatnya, nasionalisme ala Bung Karno adalah nasionalisme yang diikuti demokrasi secara ekonomi dan politik. Nasionalisme membuka ruang bagi demokrasi di bidang politik dan membuka partisipasi rakyat untuk mengolah perekonomiannya, yaitu ekonomi yang menempatka mayoritas rakyat mengontrol sumber sumber dan asset asset, menolak kepemilikan pribadi dan monopoli perorangan terhadap ekonomi. Nasionalsme tak dapat di pisahkan dari demokrasi ekonomi.

Dalam Artikelnya yang bejudul 'Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi' yang di muat dalam pikiran rakyat, 1932, Bung Karno mengatakan "Nasionalisme kita harus nasionalisme yang tidak mencari 'Gebyarnya' atau kilaunya negri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia... nasionalismenya kita haruslah lahir daripada 'menselijkheid'. 'Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan'__begitulah Gandhi berkata.

Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru yang kami sebut : sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan : sosio-demokrasi." Pemikiran itulah yang ingin penulis jadikan bingkai untuk melihat bagaimanakah nasionalisme soekarno di hadapkan pada masalah etnisitas di Indonesia.

Telah jelas bahwa cita cita persatuan soekarno untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berbhinneka tunggal ika adalah cita cita besar. Akan tetapi. Kita tahu bahwa masalh etnis di Indonesia masih di hadapkan dengan "pekerjaan Rumah" yang masih belom terselesaikan dan masih menimbulkan peredebatan untuk satu masalah yang hingga saat ini juga sering menjadi bahan diskusi yang akan terus berlanjut. Masalah tersebut adalah mengenai keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia.

Melalui tindakan pemikiran dan tindakan politik Soekarno, penulis tertarik untuk melihat keberadaan Tionghoa di Indonesia, terutama berfokus pada bagaimana  dinamika kebijakan soekarno terdapat etnis tersebut dan bagaimana persepsi soekarno terhadap keberadaan mereka di Indonesia. Politik etnis sejak Soekarno dengan berbagai dinamika politik luar negri dan konstelasi politik dalam negri di masa Soekarno menarik untuk di baca.

Berbagai dinamika politik tersebut secara khusus menuntut penulis untuk memahami bagaimanakah sebenarnya Soekarno bersikap dan berpikir masalah Tionghoa di Indonesia ini. Sejarah Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Lamanya waktu sejak mereka datang dan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia hingga sekarang mereka menunjukkan bahwa mereka layak sebagai bagian yang sah dari Indonesia. Sulit untuk di ketahui bagaimana interaksi bungkarno sejak kecil dengan masyarakat Tionghoa dan warga pribumi tampaknya tidak berjalan secara maksimal.

Kedatangan orang Tiongkok ke kepulauan nusantara dapat di telusuri dari catatan agamawan Tiongkok, seperti Fa Hien pada abad ke 4 dan I Ching pada abad ke 7. Fa Hien keberadaan "To lo mo" (di jawa). Sedangkan, I Ching pernah mampir ke nusantara untuk mempelajari bahasa sanskerta sebelum ke india untuk belajar agama budha. Di jawa, I Ching berguru pada janabhadra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline