Marroko
Itulah kita penggemar sepakbola. Yang kita hargai hanya kemenangan. Bukan permainan. Kalau permainan menurut saya team Arab Saudi lebih bagus. Tapi karena tidak lolos kita jadi lupa.
Kita penggemar sepakbola sebenarnya dalam kondisi yang tidak bahagia. Karena team kesayangan kita atau team yang sesuai dengan latar belakang sejarah dengan kita tidak ada di kancah sepakbola dunia. Yang kita saksikan tiap minggu sebetulnya bukan yang kita inginkan.
Timnas Inggeris, Italia atau Spanyol itu adalah kesebelasan yang _secara bawah sadar_ berasal dari negara-negara yang mewakili masa lalu yang kelam. Atau yang dalam sejarahnya mereka negara kuat yang tidak bisa kita kalahkan.
Beda dengan Marroko atau Saudi atau Jepang misalnya mereka datang dari negara sepakbola yang sebetulnya akrab dengan kekalahan.
Kita sebenarnya akrab dengan stigma kekalahan. Baik sebagai bangsa, ras, agama ( _dari segi jumlah_) , teknologi dan juga sepakbola. Dalam diri kita ada rasa seperti itu.
Ketika Marroko bisa mengalahkan negara-negara kuat seperti Spanyol dan Portugal rasanya kita terbebas dari belenggu itu. Apalagi Marroko juga berpenduduk Islam sama dengan kita, kita makin bangga. Ada rasa kebersamaan. Kita menjadi tenteram melihat pemain sepakbola sholat dan berdoa bersama.
Sepakbola tanpa kita sadari adalah media yang di dalamnya ada elemen identitas. Selama ini yang mendominasi ruang publik sepakbola kita adalah para pemenang yang bukan dari identitas kita.
Identitas kita yang kita bawa dan banggakan ternyata tetap ada. Dan sebagaimana mereka kita coba hadirkan dalam sepakbola.
Qatar sebagai tuan rumah mencoba menghadirkan itu di tengah budaya global yang materialistis. Penekanan pada agama Islam. Kemudian pada _values_ nya seperti keramahan, keakraban dan sekaligus ketegasan membuat Piala Dunia 22 berbeda dari yang sebelumnya.
Apalagi Marroko _punya sejarah yang sama dengan Qatar_ bisa mengalahkan negara-negara kuat dan maju sampai semifinal.