Lihat ke Halaman Asli

MENGINTIP PRAGMATISM (bagian 2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam tulisan saya yang lalu saya mencoba untuk memperkenalkan kembali akar dari pragmatisme. maka melanjutkan dari bahasan yang lalu, senyatanya Pragmatism berangkat dari budaya dan sub kultur asli orang-orang amerika. sebuah kultur yang benar-benar berakar dari pola interaksi sosial masyarakat urban amerika. Tak ayal diversitas jelas menjadi titik tolak dalam perumusan nilai-nilai pragmatism khas amerika. diversitas dalam hal ini kita pahami sebagai sebuah relasi antara heterogenitas masyarakat amerika dan kompleksitas sosial yang terjadi didalamnya. maka jelaslah bahwa tingkat heterogenitas masyarakat amerika sangat mempengaruhi alur pemahaman kita terhadap corak pemikiran yang satu ini. Dalam memahami pragmatism kita dituntut untuk memahami sebuah dunia yang majemuk lagi plural.

Pluralitas dalam hal ini berarti sebagai sebuah tatanan dunia yang senatiasa berubah. Sebuah dunia yang belum benar-benar sempurna (baik secara materil maupun immaterial). Sebuah dunia yang acapkalai memaparkan berbagai reaitas yang cenderung saling berbeda satu sama lain. Akan tetapi  tetap terikat dan menimbulkan efek berantai yang bersifat continue. Didalam dunia ini segala pengalaman individu dalam berinteraksi dengan pluralitas yang ada dapat dimaknai sebagi realitas yang hidup.

Pluralitas disini mengambil nilai penting dalam perumusan nilai-nilai pragmatism. Mulai dari hal yang menyangkut intelektualitas, etika (etis), keindahan (estetis / estetika) hingga tataran praksis. Karena senyatanya hal tersebut berimbas pada konsekuensi-konsekuensi logis berkenaan tentang criteria rasionalitas yang nantinya akan dipakai guna memenuhi kepuasan individu.

Dan disinilah pragmatism bekerja. Gerak bebas manusia dalam membuat, menggubah serta mengelaborasi realitas menjadi titik pijak dalam rangka pemenuhan kebutuhan subyektif individu. Dalam dunia yang belum sempurna manusia bebas membentuk segala realitas berdasarkan kepentingan pribadinya. Mereka (meskipun terikat hukup kausalitas) seolah-olah mempunyai imunitas dalam mengelola dunia yang belum sempurna ini berdasarkan tujuan mereka tanpa garis demarkasi yang jelas.

Meski begitu banyak pakar pragmatism yang beranggapan bahwasannya segala ciptaan, gubahan, elaborasi, dan perubahan yang dibuat manusia dalam dunia pluraltas bukanlah suatu hal yang berasal dari ketiadaan. Segala sesuatu yang dilakukan individu terhadap realitas bukanlah berangkat dari ruang kosong lagi hampa. Meskipun mereka melakukan segala modifikasi terhadap realitas berdasarkan tujuan dan kegunaan prasis tertentu, tetap saja segala kegiatan mereka yang bersinggungan dengan realitas terikat oleh lingkatan struktur tertentu. Misalnya pengalaman.

Banyak ahli psikologi mengatakan bahwasannya ppengalaman merupakan suatu system (struktur) pembaharuan dalam diri manusia pasca melalui sebuah realitas (social?). Pengalaman muncul sebagai ekses dari segala proses pragmatis yang telah dilalui seorang individu dalam melewati satu realitas ke realitas yang lain. Dan hal tersebut menjadi landasan subconscious seorang individu dalam menentukan takaran kepuasan yang telah dijelaskan diatas.

Seperti yang telah dijelaskan pengalaman sendiri merupakan sebuah proses pembaharuan. Dan pragmatism menganggap dunia plural sangat terbuka akan perubahan dan perbaikan. Maka pengalaman disi menurut pragmatism menjadi entitas yang nyata bagi individu guna mengubah suatu realitas.  Layaknya kedudukan sebuah teori dalam mekanisme faham pragmatis, gerak bebas manusia dalam menggunakan pengalaman sebagai alat pembentuk realitas, menjadi kunci perkembangan dunia pluralnya.

Yang terakhir, meskipun pengalaman manusia merupakan sendi-sendi dunia plural pragmatism, akan tetapi tak jarang dalam sebuah jalinan pengalaman terdapat kompleksitas –kompleksitas plural. Dengan kata lain sebuah pengalaman sendiri merupakan keberadaan yang multi entity dan bukan suatu yang simple (tunggal).  Relasi-relasi antara pengalaman saling terkait dan bersifat timbal balik. Disamping itu pengalaman menjadi titik integral atas kesadaran indrawi individu terhadap realitas. Oleh karenanya acap kali terjalin suatu relasi saling mengait antara pengalaman dan dunia plural, namun tak jarang pula terjadi silang sengkarut diantara keduanya. Toh dalam dunia pragmatis tidak ada sesuatu yang statis, segalanya berjalan secara dinamis baik pengalaman maupun dunia plural.

(bersambung)

seluruh refrensi mengenai tulisan ini dapat anda lihat pada bagian terakhir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline